Drama sepak bola Eropa mencapai titik klimaksnya. Final Liga Champions UEFA 2025 tinggal menghitung hari. Dua kekuatan besar akan bertemu di Allianz Arena, Munich: Paris Saint-Germain (PSG) dari Prancis dan Inter Milan dari Italia. Dua klub dengan sejarah, gaya, dan ambisi yang berbeda, tapi dengan satu tujuan yang sama: menjadi kampiun Eropa.
Kisah perjalanan PSG musim ini layak disebut sebagai dongeng sepak bola modern. Tim asuhan Luis Enrique sempat limbung di fase grup, bahkan hanya finis di posisi ke-15 secara keseluruhan. Empat kemenangan, satu hasil imbang, dan tiga kekalahan bukanlah catatan ideal untuk calon juara. Namun, fase gugur adalah babak kebangkitan. PSG menggila. Mereka membantai sesama tim Prancis, Brest, dengan agregat 10-0---kemenangan terbesar kedua dalam sejarah Liga Champions. Selanjutnya, Liverpool, juara Liga Primer Inggris, harus merasakan ketangguhan PSG lewat adu penalti dramatis. Dan yang paling mengesankan, mereka menaklukkan Arsenal 2-1 di leg kedua semifinal (agregat 3-1), dalam pertandingan yang menampilkan ketegangan, taktik jenius, dan mental baja.
Kini PSG menatap final kedua mereka dalam lima tahun terakhir. Setelah kekalahan menyakitkan dari Bayern Muenchen pada final 2020 dan kegagalan menembus final musim lalu akibat disingkirkan Borussia Dortmund, inilah momen untuk menebus segalanya. Terlebih, mereka datang dengan semangat baru setelah meraih gelar Ligue 1 2024/2025. Dengan formasi andalan 4-3-3, kreativitas lini tengah, dan eksplosivitas pemain sayap seperti Ousmane Dembele, Khvicha Kvaratskhelia, Bradley Barcola, hingga Desire Doue, PSG siap menggedor pertahanan manapun. Khususnya Dembele, yang musim ini mencatatkan 45 kontribusi gol dari 45 penampilan---angka yang mencerminkan konsistensi luar biasa.
Namun, di seberang lapangan, berdiri Inter Milan. Sebuah klub dengan tradisi Eropa yang jauh lebih kokoh. Tiga trofi Liga Champions (1964, 1965, 2010) menjadi bukti bahwa Inter adalah raksasa Benua Biru. Dan musim ini, mereka tampil meyakinkan sejak awal. Inter finis di peringkat keempat klasemen akhir grup dengan 19 poin, hasil dari enam kemenangan, satu imbang, dan satu kekalahan. Tanpa perlu playoff, mereka langsung melaju ke babak 16 besar.
Di fase gugur, Inter menunjukkan tajinya. Feyenoord, Bayern Muenchen, dan Barcelona menjadi korban kecerdikan dan disiplin skuad Simone Inzaghi. Permainan mereka stabil, efisien, dan penuh perhitungan. Gaya khas Italia tetap terasa---kokoh dalam bertahan, tajam saat menyerang balik.
Pertemuan ini juga menjadi momen bersejarah, karena ini adalah kali pertama PSG dan Inter Milan bertemu di kompetisi resmi UEFA. Pertarungan dua kutub berbeda: PSG dengan impian mencetak sejarah, Inter dengan misi memperpanjang warisan kejayaan. Ini akan menjadi final klasik yang mempertemukan filosofi sepak bola menyerang modern ala Enrique melawan kesolidan dan pengalaman Eropa dari Inzaghi.
Satu catatan menarik, Inter tampaknya tahu cara meredam Kvaratskhelia, salah satu sayap andalan PSG. Dalam lima pertemuan terakhir, winger asal Georgia itu belum pernah mencetak gol atau assist melawan Inter---bahkan di musim terbaiknya sekalipun. Tapi di sisi lain, PSG punya keunggulan dalam kedalaman skuad, fleksibilitas taktik, dan mentalitas yang kian matang.
Final Liga Champions 2025 akan menjadi pertarungan tak hanya antar pemain, tapi antar ideologi, narasi sejarah, dan cita-cita yang tertunda. Siapa yang akan mengangkat si Kuping Besar tahun ini? Inter Milan, sang ahli waris masa lalu? Atau PSG, si pemimpi yang kini siap menulis sejarah baru?
Satu hal pasti: kita semua sedang menunggu lahirnya kampiun sejati Eropa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI