Kabar duka itu datang dari Vatikan. Dunia sejenak terdiam dalam keheningan yang syahdu. Paus Fransiskus, Pemimpin Gereja Katolik Dunia yang dikenal karena kelembutan hati dan keberaniannya menjembatani keberagaman, telah berpulang ke pangkuan Ilahi. Dan dari tanah nusantara, Keluarga Besar Gerakan Pemuda Ansor turut menundukkan kepala, mengirimkan doa, dan menyampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya atas wafatnya pemimpin yang menjadi sahabat kemanusiaan sejati.
Dalam suasana duka ini, tidak hanya umat Katolik yang merasakan kehilangan. Dunia Islam---terutama mereka yang selama ini berada di barisan moderat---juga kehilangan seorang mitra dialog, seorang pemimpin spiritual yang menolak untuk tinggal dalam menara gading dogma, dan memilih berjalan kaki menembus batas-batas keyakinan demi satu nilai universal: kasih.
Paus Fransiskus bukan sekadar pemimpin Gereja. Ia adalah simbol keberanian moral. Dalam banyak kesempatan, beliau menunjukkan bahwa keberagamaan sejati tidak bisa dipisahkan dari kepedulian sosial dan kemanusiaan. Ia tidak ragu mencium kaki para migran Muslim, berbicara untuk Palestina, dan bersuara keras menolak perang serta kekerasan atas nama apa pun.
Kedekatannya dengan GP Ansor menjadi salah satu jejak sejarah yang layak dikenang. Paus dan Ansor mungkin berasal dari dua dunia yang tampak berbeda secara lahiriah---satu memimpin Gereja Katolik dari Vatikan, yang lain tumbuh dari pesantren-pesantren di tanah Jawa. Namun, keduanya bertemu dalam satu semangat: menjaga kemanusiaan, merawat perdamaian.
Dalam beberapa kali forum antaragama, GP Ansor pernah hadir bersama pemuka agama dunia dan menyambut hangat ajakan Paus untuk memperkuat dialog antarumat beragama. Tidak ada kecurigaan, tidak ada rasa saling menghakimi---hanya tekad yang sama untuk menjadikan agama sebagai jalan keluar dari kekerasan dan konflik.
Paus Fransiskus mengajarkan pada kita bahwa kasih itu tidak eksklusif. Ia milik semua. Ia menginspirasi kita bahwa menjadi pemeluk agama yang taat tidak harus berarti membenci yang berbeda. Justru sebaliknya, kesalehan yang sejati diuji di jalan keberagaman. Dan itu pula yang menjadi semangat perjuangan GP Ansor: menjaga rumah besar Indonesia dengan nilai-nilai Islam yang ramah, bukan marah.
Wafatnya Paus Fransiskus meninggalkan duka, tapi juga warisan yang tak ternilai. Warisan itu bukan berupa gedung atau dokumen-dokumen teologis semata. Warisannya adalah teladan hidup---tentang bagaimana menjadi pemimpin yang rendah hati, tentang bagaimana mencintai mereka yang tersingkirkan, tentang bagaimana berbicara lantang untuk keadilan, meski di tengah arus yang menolak.
Dalam duka ini, GP Ansor mengajak seluruh elemen bangsa untuk merenungkan kembali makna keberagamaan kita. Apakah kita sudah cukup lembut dalam beragama? Apakah kita sudah menjadikan kasih sebagai landasan dalam bersikap? Ataukah kita masih terjebak dalam tembok-tembok sempit eksklusivisme yang mudah tersulut amarah?
Semoga nilai-nilai luhur dan teladan kasih Paus Fransiskus tidak berhenti pada upacara pemakaman. Semoga ia hidup terus dalam setiap pikiran dan tindakan umat manusia---di masjid, di gereja, di wihara, di pura, bahkan di ruang-ruang kelas dan meja-meja rapat. Agar dunia yang sedang ringkih oleh konflik ini bisa menemukan kembali harapannya.
Dari Indonesia, dari pesantren-pesantren kecil hingga forum-forum global, kami---Keluarga Besar Gerakan Pemuda Ansor---berdoa agar arwah Paus Fransiskus diterima di sisi Tuhan dengan sebaik-baiknya penerimaan. Ia telah menjalankan tugasnya sebagai jembatan kasih di dunia ini. Kini, tugas kita untuk melanjutkan misinya: membangun dunia yang lebih damai, adil, dan manusiawi.