Langit London tampak bersahabat pada dini hari Rabu (9/4), tetapi badai justru datang dari lapangan hijau Emirates Stadium. Arsenal, tim muda nan lapar, menjamu sang juara bertahan Eropa, Real Madrid, dalam laga leg pertama perempat-final Liga Champions. Yang terjadi malam itu bukan hanya kemenangan---tetapi pernyataan tegas bahwa The Gunners sudah bukan sekadar penonton di pesta Eropa. Mereka adalah tuan rumah yang mengundang, lalu membantai, dengan skor 3-0 yang akan tercatat dalam sejarah.
Agresif Sejak Menit Awal
Sejak peluit pertama ditiup, Arsenal menunjukkan niat mereka dengan sangat jelas: menyerang. Tidak ada rasa takut, tidak ada rasa minder, bahkan ketika di hadapan mereka berdiri pemain-pemain bertitel pemenang Liga Champions. Martin Odegaard mengatur tempo, Bukayo Saka dan Gabriel Martinelli menari di sisi lapangan, sementara Declan Rice tampak seperti pria yang menjalani takdirnya malam itu.
Meski babak pertama berakhir tanpa gol, Arsenal sejatinya tampil sangat dominan. Umpan silang terus menghujani pertahanan Madrid. The Gunners mengurung lawan dengan pressing tinggi dan penguasaan bola yang impresif. Satu-satunya peluang berarti Madrid datang dari kaki Vinicius Jr di menit ke-20, tetapi tendangannya malah menyapa penonton di tribun.
Gol, Gol, dan Lagi-Lagi Rice
Kebuntuan pecah di menit ke-58. Declan Rice berdiri tegak di depan bola, mengambil ancang-ancang. Tembok Madrid berdiri, Thibaut Courtois fokus. Tetapi sepakan Rice melengkung sempurna melewati pagar hidup itu dan bersarang di gawang Madrid. Emirates bergemuruh. Itu bukan gol biasa---itu pembuka kotak pandora malam kelam Madrid.
Belum sempat pasukan Carlo Ancelotti merespons, Rice kembali berdiri di titik yang nyaris sama di menit ke-70. Kali ini sepakan bebasnya lebih kejam, meluncur deras ke pojok kanan atas. Gol kedua membuat kapten Odegaard tertegun dan Jude Bellingham tak percaya. Dalam sekejap, Rice berubah dari gelandang bertahan menjadi legenda baru di mata pendukung Arsenal.
Lima menit berselang, giliran Mikel Merino menambahkan garam ke luka Madrid. Menerima bola di dalam kotak penalti, ia mengayunkan kaki dan mengirim bola melengkung yang tak kalah indah ke sudut gawang. 3-0. Ancelotti menatap kosong, dan suporter Arsenal bersorak seolah semi-final sudah dalam genggaman.
Camavinga Menyempurnakan Malam Sempurna Arsenal
Penderitaan Madrid belum usai. Di masa injury time, Eduardo Camavinga menerima kartu kuning kedua, meninggalkan rekan-rekannya dengan sepuluh pemain. Kekalahan tiga gol dan kehilangan satu pemain jadi bekal yang pahit menjelang leg kedua. Arsenal, di sisi lain, tampak seperti tim yang tak hanya lapar, tetapi juga cerdas dan percaya diri.