Sejak digelontorkan pertama kali pada 2015, dana desa telah menjadi "bensin" utama bagi pembangunan ekonomi di desa-desa. Dengan total anggaran yang terus meningkat setiap tahunnya, kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat ekonomi perdesaan, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kesenjangan antara kota dan desa. Namun, setelah hampir satu dekade berjalan, muncul pertanyaan mendasar: apakah dana desa benar-benar telah mengubah wajah ekonomi desa?
Salah satu instrumen yang banyak digunakan dalam pemanfaatan dana desa adalah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Seharusnya, BUMDes menjadi mesin ekonomi yang menggerakkan sektor usaha produktif di desa. Sayangnya, dalam banyak kasus, BUMDes masih berkutat pada persoalan tata kelola yang buruk, kurangnya inovasi bisnis, dan bahkan tak jarang hanya menjadi "proyek" tanpa keberlanjutan.
Lantas, apakah BUMDes masih relevan? Ataukah desa perlu mencari model ekonomi lain yang lebih partisipatif dan berkelanjutan? Di sinilah gagasan Koperasi Desa Merah Putih bisa menjadi solusi alternatif yang lebih menjanjikan.
BUMDes: Antara Harapan dan Realitas
BUMDes awalnya didesain sebagai alat untuk mendorong kemandirian ekonomi desa dengan mengembangkan berbagai unit usaha berbasis potensi lokal. Idealnya, BUMDes bisa mengelola aset desa, menyediakan layanan keuangan mikro, hingga membuka sektor usaha kreatif yang melibatkan masyarakat.
Namun, realitas di lapangan tidak selalu sesuai ekspektasi. Banyak BUMDes yang gagal berkembang karena beberapa alasan:
Sumber Daya Manusia yang Terbatas
Tidak semua desa memiliki SDM yang cukup dalam mengelola bisnis. Banyak pengelola BUMDes belum memiliki keterampilan dalam akuntansi, pemasaran, dan manajemen usaha.Ketergantungan pada Dana Desa
Bukannya menjadi usaha mandiri, banyak BUMDes justru bergantung pada suntikan dana desa setiap tahun. Begitu aliran dana berhenti, BUMDes pun macet.Minimnya Partisipasi Masyarakat
Alih-alih dikelola secara partisipatif, BUMDes sering kali hanya menjadi proyek segelintir orang di desa. Akibatnya, masyarakat desa tidak merasa memiliki dan tidak berpartisipasi aktif dalam pengelolaan usaha.
Dengan berbagai tantangan ini, perlu ada strategi baru dalam mengelola dana desa agar benar-benar berdampak jangka panjang.