Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jomlo Pilih-Pilih: Antara Standar Tinggi dan Realita Lapangan

17 Februari 2025   07:37 Diperbarui: 17 Februari 2025   07:38 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ketika Jomlo Pilih-Pilih | www.radarsidoarjo.jawapos.com

Sebagian orang percaya bahwa jodoh sudah ditentukan oleh takdir, sementara sebagian lain merasa jodoh adalah hasil usaha dan pilihan. Di tengah perdebatan itu, ada satu kelompok yang menarik perhatian: para jomlo yang pilih-pilih jodoh. Mereka bukan sekadar menunggu pasangan datang, tetapi benar-benar memiliki daftar panjang kriteria yang harus dipenuhi. Namun, apakah standar tinggi itu justru menjadi boomerang bagi mereka sendiri?

Fenomena Jomlo Pilih-Pilih

Dalam sebuah survei oleh Jakpat pada 2023, sekitar 60% responden mengaku masih lajang karena belum menemukan pasangan yang sesuai dengan standar mereka. Artinya, ada kecenderungan di kalangan masyarakat, terutama generasi muda, untuk lebih selektif dalam memilih pasangan. Hal ini sejalan dengan studi dari Pew Research Center (2020) yang menemukan bahwa semakin tinggi pendidikan dan status ekonomi seseorang, semakin ketat pula kriteria mereka dalam memilih pasangan.

Namun, apakah ini berarti mereka lebih sulit mendapatkan jodoh? Jawabannya: tergantung.

Mengapa Orang Menjadi Pilih-Pilih?

Ada banyak alasan mengapa seseorang menjadi selektif dalam memilih pasangan. Beberapa faktor utamanya adalah:

  1. Tingkat Pendidikan dan Karier
    Orang yang memiliki pendidikan tinggi dan karier mapan cenderung ingin pasangan yang setara atau lebih baik. Mereka merasa tidak ingin "turun kelas" dalam hubungan. Namun, studi dari Lichter & Qian (2019) menunjukkan bahwa ketika seseorang terus menunda pernikahan karena mencari pasangan ideal, peluang mereka untuk menemukan pasangan yang sesuai semakin mengecil seiring bertambahnya usia.
  2. Pengaruh Media dan Sosial Media
    Era media sosial memperkenalkan standar kecantikan dan kesuksesan yang tidak realistis. Banyak orang membandingkan calon pasangan dengan figur ideal yang mereka lihat di Instagram atau TikTok. Akibatnya, ada harapan bahwa pasangan harus memiliki wajah rupawan, tubuh ideal, dan kepribadian sempurna. Padahal, realita di lapangan tidak selalu seindah feed Instagram.
  3. Trauma Masa Lalu
    Banyak jomlo memilih untuk lebih selektif karena pernah mengalami kegagalan hubungan. Mereka takut mengulangi kesalahan yang sama dan akhirnya menetapkan standar yang lebih ketat. Namun, dalam psikologi, dikenal istilah decision paralysis---semakin banyak pilihan atau pertimbangan yang dimiliki, semakin sulit mengambil keputusan.
  4. Konsep Soulmate dan The One
    Sebagian orang masih percaya bahwa di luar sana ada seseorang yang benar-benar "ditakdirkan" untuk mereka. Keyakinan ini membuat mereka terus menunggu seseorang yang dianggap sebagai "jodoh sempurna," meskipun sebenarnya tidak ada manusia yang benar-benar sempurna.

Dampak Standar Terlalu Tinggi

Bersikap selektif tentu bukan hal yang buruk. Namun, ketika standar menjadi terlalu tinggi, ada beberapa konsekuensi yang bisa terjadi:

  1. Menunda Pernikahan Tanpa Kepastian
    Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa usia menikah di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2000, rata-rata usia menikah pertama bagi perempuan adalah 20 tahun, sementara pada 2022 meningkat menjadi 23 tahun. Tren ini menunjukkan bahwa semakin banyak orang yang menunda pernikahan, sebagian karena alasan memilih pasangan yang tepat.
  2. Kesepian dan Tekanan Sosial
    Seiring bertambahnya usia, tekanan dari keluarga dan lingkungan untuk menikah semakin besar. Para jomlo yang memilih-milih mungkin merasa nyaman dengan statusnya di awal, tetapi di kemudian hari, bisa muncul perasaan kesepian atau kecemasan karena belum menemukan pasangan.
  3. Kurangnya Peluang untuk Bertumbuh Bersama
    Banyak orang menginginkan pasangan yang sudah "jadi"---mapan, dewasa, dan sempurna. Namun, sering kali hubungan yang sehat justru terbentuk ketika dua orang tumbuh dan berkembang bersama. Dengan menunggu pasangan yang sudah "sempurna," seseorang bisa kehilangan kesempatan untuk membangun hubungan yang kuat dari nol.

Bagaimana Seharusnya?

Menjaga standar dalam memilih pasangan adalah hal yang baik, tetapi perlu juga diimbangi dengan fleksibilitas dan realisme. Berikut beberapa pendekatan yang bisa diambil:

  1. Buat Prioritas, Bukan Checklist
    Daripada memiliki daftar panjang kriteria yang harus dipenuhi calon pasangan, cobalah untuk menentukan beberapa hal yang benar-benar esensial. Misalnya, nilai agama, visi hidup, atau keselarasan karakter. Tidak semua hal harus sempurna, yang penting bisa saling melengkapi
  2. Berpikir Jangka Panjang
    Pilihlah pasangan berdasarkan karakter dan nilai yang bisa bertahan dalam jangka panjang. Ketampanan atau kecantikan bisa memudar, tetapi kepribadian dan kesetiaan adalah hal yang lebih bertahan lama.
  3. Membuka Diri dan Memberi Kesempatan
    Terkadang, orang yang terbaik untuk kita bukanlah yang langsung memenuhi semua kriteria di awal, tetapi seseorang yang kita kenal lebih dalam seiring waktu. Jangan terlalu cepat menolak seseorang hanya karena kesan pertama yang kurang sesuai ekspektasi.
  4. Belajar dari Pengalaman Orang Lain
    Banyak pasangan yang berhasil menikah bukan karena menemukan pasangan yang sempurna, tetapi karena mereka mampu saling menyesuaikan dan berkompromi. Dengarkan cerita dari orang-orang yang sudah menikah untuk memahami realita pernikahan yang sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun