Ada satu kata yang sering kita dengar tetapi sulit dipraktikkan: legawa. Dalam bahasa Jawa, legawa berarti ikhlas, menerima dengan lapang dada, tanpa dendam atau beban hati. Konsep ini begitu dalam, namun bertolak belakang dengan sifat alami manusia yang cenderung egosentris---memikirkan diri sendiri, merasa selalu benar, dan sulit menerima kenyataan yang tidak sesuai keinginan.
Namun, apakah sikap legawa itu justru melemahkan? Atau justru sebaliknya, ia adalah jalan menuju kebahagiaan sejati? Mari kita telusuri lebih dalam.
Egosentrisme: Akar Masalah yang Tak Disadari
Manusia sejak lahir membawa sifat egosentris. Seorang bayi menangis jika lapar, mengamuk jika tidak mendapatkan mainan, dan baru merasa tenang saat kebutuhannya terpenuhi. Sifat ini secara alami bertahan hingga dewasa dalam bentuk yang lebih halus---keinginan untuk selalu benar, enggan mengalah, dan sulit menerima kegagalan.
Dalam dunia yang semakin kompetitif ini, sifat egosentris justru sering dianggap sebagai kunci sukses. Kita diajarkan untuk "berjuang demi diri sendiri," "mengejar impian tanpa kompromi," dan "tidak boleh kalah dari orang lain." Namun, tanpa disadari, dorongan untuk selalu menang ini sering kali membawa dampak negatif---stres, konflik, dan ketidakpuasan hidup.
Sebuah studi dari American Psychological Association (2021) menunjukkan bahwa individu yang terlalu fokus pada diri sendiri cenderung memiliki tingkat kecemasan dan stres yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang mampu menerima keadaan dengan lebih lapang. Ini membuktikan bahwa egosentrisme yang tidak terkendali justru berbalik merugikan diri sendiri.
Legawa: Menerima, Bukan Pasrah
Lalu, bagaimana sikap legawa menjadi solusi?
Legawa bukan berarti menyerah atau pasrah tanpa usaha. Justru, legawa adalah sikap dewasa dalam menerima kenyataan, tanpa berlebihan dalam menyalahkan keadaan atau orang lain. Orang yang legawa tahu kapan harus bertahan, kapan harus berusaha lebih keras, dan kapan harus menerima bahwa tidak semua hal bisa dikontrol.
Dalam psikologi, konsep ini dikenal dengan istilah radical acceptance, sebuah teori yang dikembangkan oleh Marsha Linehan, seorang psikolog klinis ternama. Ia menjelaskan bahwa menerima realitas, tanpa perlawanan batin yang berlebihan, dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan emosional.