Bayangkan media sosial sebagai sebuah ring tinju raksasa. Di satu sudut, ada mereka yang berbicara berdasarkan data, logika, dan analisis. Di sudut lain, ada kelompok yang menyebarkan opini dengan narasi yang disusun rapi---kadang tanpa peduli fakta. Di antara mereka, ada pasukan buzzer yang beroperasi dengan satu tujuan: mengarahkan opini publik.
Buzzer bukan fenomena baru, tetapi kehadiran mereka di era digital semakin terasa mendominasi. Mereka bisa berupa individu atau kelompok yang bekerja untuk menggaungkan suatu pesan, mendiskreditkan lawan, atau mengaburkan realitas dengan narasi yang menguntungkan pihak tertentu. Kadang mereka dibayar, kadang mereka hanya relawan ideologis. Apa pun motifnya, satu hal yang pasti: buzzer telah mengubah cara kita memahami kebenaran di era digital.
Buzzer: Mesin Narasi di Era Digital
Istilah "buzzer" awalnya merujuk pada orang-orang yang mempromosikan produk atau brand di media sosial. Namun, dalam ranah politik dan sosial, buzzer lebih dikenal sebagai aktor yang menyebarkan narasi tertentu untuk membentuk opini publik. Mereka beroperasi melalui berbagai platform seperti Twitter, Facebook, Instagram, hingga TikTok.
Metode kerja mereka cukup sistematis. Mereka menggunakan bot untuk memperkuat pesan, membanjiri kolom komentar, dan menyusun strategi trending topic agar pesan mereka tampak lebih populer dari yang sebenarnya. Beberapa buzzer juga memiliki jaringan yang luas, termasuk influencer dan akun-akun anonim dengan ribuan hingga jutaan pengikut.
Data dari Oxford Internet Institute (2021) menunjukkan bahwa kampanye disinformasi yang didukung buzzer atau aktor politik meningkat tajam di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pada 2019, misalnya, muncul laporan tentang pasukan siber yang diduga bekerja untuk kepentingan politik tertentu dalam Pemilu. Mereka memainkan emosi publik, memanfaatkan hoaks, dan memecah belah masyarakat dengan narasi yang berlawanan.
Perang Narasi: Dari Isu Politik hingga Perang Dagang
Perang narasi terjadi di hampir semua sektor. Di dunia politik, buzzer digunakan untuk membentuk citra kandidat, menyerang lawan politik, atau menutupi isu-isu sensitif. Dalam konflik internasional, mereka menjadi alat propaganda negara. Bahkan di dunia bisnis, perang narasi sering terjadi dalam bentuk persaingan brand, di mana satu pihak mencoba menjatuhkan reputasi pesaingnya.
Salah satu contoh perang narasi yang menarik adalah ketika pandemi COVID-19 melanda. Ada buzzer yang menggiring opini bahwa virus ini hanyalah konspirasi, sementara yang lain mendorong narasi ilmiah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Akibatnya, publik terpecah antara yang percaya sains dan yang terjebak dalam teori konspirasi.
Dalam geopolitik, perang narasi antara Amerika Serikat dan China terkait teknologi 5G juga menarik untuk dicermati. AS menuduh Huawei sebagai alat spionase Beijing, sementara China membalas dengan menuduh Barat takut kehilangan dominasi teknologi. Narasi semacam ini akhirnya menentukan arah kebijakan publik, bahkan mempengaruhi regulasi di berbagai negara.