Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Keponakan-Keponakan Ajaib: Antara Tertawa, Geleng-Geleng dan Tarik Napas Panjang

10 Februari 2025   13:00 Diperbarui: 10 Februari 2025   11:10 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak-anak sedang bermain | www.orami.co.id

Setiap keluarga pasti punya setidaknya satu keponakan yang kelakuannya bikin perut mules dan jidat berkerut. Ada yang sok tahu, ada yang kelewat jujur, ada yang kreatif kelewatan, dan ada juga yang bisa menciptakan kehebohan dari hal yang sepele. Saya sendiri punya beberapa keponakan dengan tingkah yang sering kali membuat saya berada di ambang antara tertawa dan kehabisan kata-kata.

Episode 1: Keponakan dan Logika yang ‘Out of the Box’

Beberapa waktu lalu, salah satu keponakan saya, sebut saja Raka, bertanya dengan wajah serius, “Om, kalau kita makan ayam goreng, ayamnya jadi bagian dari tubuh kita, kan?” Saya mengangguk. Lalu ia melanjutkan, “Berarti kalau ayam makan nasi, nasinya jadi bagian dari ayam, kan?” Saya kembali mengangguk, mulai curiga ke mana arah pembicaraan ini. Dan kemudian dia menyimpulkan, “Jadi kalau aku makan ayam yang makan nasi, berarti aku juga makan nasi!”

Sejenak, saya terpana. Logikanya, meski kedengaran sederhana, mengandung paradoks menarik. Ini mirip dengan konsep rantai makanan, tapi diterjemahkan dengan cara yang begitu lugas. Keponakan saya ini sebenarnya punya potensi besar dalam berpikir kritis, hanya saja masih perlu diarahkan agar tidak berujung pada klaim-klaim yang absurd.

Kasus seperti ini sering terjadi pada anak-anak usia 6-10 tahun. Menurut Jean Piaget, seorang psikolog perkembangan, anak-anak pada tahap operasional konkret (7-11 tahun) mulai mengembangkan pemikiran logis, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat mereka lihat langsung. Itu sebabnya mereka suka menghubungkan sesuatu secara linear dan kadang menghasilkan kesimpulan unik seperti tadi.

Episode 2: Kejujuran yang Terlalu Polos

Ada keponakan lain, namanya Dira, yang masih berusia lima tahun. Ia terkenal jujur apa adanya, tanpa filter. Pernah suatu kali, saat ada acara keluarga besar, seorang tante bertanya dengan bangga, “Dira, Tante cantik nggak?” Bukannya menjawab dengan manis, dia malah berkata dengan polos, “Cantik, tapi kalau pakai make-up. Kalau nggak, kayak ibu-ibu biasa.”

Hening sejenak. Semua orang dewasa saling lirik-lirikan, berusaha menahan tawa atau pura-pura sibuk mengaduk minuman. Tante yang ditanya hanya tersenyum kaku. Dalam hati, saya merenung, apakah kejujuran anak-anak ini sebaiknya kita biarkan berkembang, atau mulai diajarkan sedikit diplomasi sosial?

Kejujuran anak-anak memang sering kali brutal, tapi sebenarnya ini mencerminkan dunia mereka yang masih hitam-putih. Menurut teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg, anak-anak pada tahap awal lebih banyak berpegang pada aturan objektif tanpa mempertimbangkan konsekuensi sosialnya. Inilah mengapa anak-anak cenderung berkata jujur meskipun menyakitkan.

Namun, di zaman sekarang, terlalu polos juga bisa jadi masalah. Dalam era digital, di mana informasi bisa tersebar dalam hitungan detik, anak-anak perlu diberi pemahaman bahwa kejujuran itu baik, tetapi harus disampaikan dengan cara yang lebih bijak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun