Beberapa waktu terakhir, publik dikejutkan dengan wacana bahwa perguruan tinggi akan diberi kewenangan untuk mengelola tambang. Wacana ini berangkat dari revisi aturan yang memungkinkan kampus, terutama yang berstatus Badan Hukum (PTNBH), untuk terlibat dalam dunia pertambangan. Sekilas, gagasan ini tampak sebagai inovasi luar biasa. Bayangkan, universitas bukan hanya menjadi pusat ilmu pengetahuan tetapi juga memiliki tambang sendiri! Namun, sebelum kita terbuai oleh romantisme akademisi yang bersimbah lumpur emas, mari kita kupas lebih dalam: apakah ini langkah brilian atau justru jebakan batman?
Akademisi vs. Industri: Dua Dunia yang Berbeda
Universitas adalah rumah bagi ilmu pengetahuan, tempat lahirnya riset, inovasi, dan kebijakan berbasis sains. Di sisi lain, industri pertambangan adalah dunia yang sarat modal, penuh risiko, dan sangat dipengaruhi kepentingan ekonomi serta politik. Mempersatukan keduanya tampak seperti upaya menjodohkan dua individu dengan latar belakang sangat berbeda.
Memang, banyak perguruan tinggi di Indonesia memiliki fakultas teknik pertambangan, geologi, atau kehutanan yang berkontribusi besar dalam riset eksplorasi sumber daya alam. Namun, mengelola tambang bukan sekadar soal memahami kandungan mineral atau metode ekstraksi yang ramah lingkungan. Ada aspek bisnis, tata kelola, perizinan, dampak sosial, hingga mitigasi risiko ekologis yang harus diperhitungkan.
Masalahnya, apakah kampus siap dengan semua itu? Mengelola tambang bukan sekadar proyek riset skala laboratorium, melainkan bisnis bernilai triliunan rupiah yang memerlukan manajemen risiko tingkat tinggi.
Motif dan Potensi Keuntungan
Jika melihat dari sisi finansial, wacana ini bisa dipahami. Banyak perguruan tinggi, terutama yang berstatus PTNBH, dituntut mencari pendanaan mandiri. Sumber dari UKT (uang kuliah tunggal) saja jelas tidak cukup. Dengan memiliki tambang, universitas berpotensi mendapatkan pemasukan besar untuk mendanai riset dan pengembangan akademik. Model ini sudah diterapkan di beberapa negara, misalnya Amerika Serikat, di mana universitas memiliki saham atau bekerja sama dengan industri energi dan sumber daya.
Namun, ada perbedaan mendasar. Di negara-negara maju, universitas tidak langsung terlibat dalam operasional tambang, melainkan berperan sebagai mitra strategis dalam riset dan kebijakan. Mereka tidak serta-merta turun tangan dalam eksploitasi sumber daya alam. Jika di Indonesia kampus benar-benar diberi kuasa penuh, maka pertanyaannya: siapa yang akan mengelola? Dosen? Mahasiswa? Atau justru pihak ketiga yang ujung-ujungnya berbasis korporasi?
Dampak Lingkungan dan Etika Akademik
Salah satu kritik utama terhadap ide ini adalah dampak lingkungan. Sejarah mencatat bahwa pertambangan di Indonesia kerap membawa kerusakan ekologi yang masif. Banjir, longsor, pencemaran air, hingga hilangnya biodiversitas adalah dampak nyata yang sulit dihindari. Universitas, sebagai institusi yang seharusnya menjadi penjaga keberlanjutan, justru berpotensi menjadi pelaku utama eksploitasi alam. Bukankah ini bertolak belakang dengan nilai-nilai akademik yang menjunjung tinggi keberlanjutan dan keseimbangan ekologi?