Ada yang berbeda ketika kita berbicara tentang “ngaji bareng Gus Baha”. Tidak sekadar duduk melingkar di depan seorang ulama, kegiatan ini adalah momen menyelami pemikiran klasik Islam yang disampaikan dengan gaya ringan, tetapi mengandung kedalaman yang luar biasa. Gus Baha, dengan tutur katanya yang sederhana dan diselingi humor, menjadikan kitab turats – warisan literatur Islam klasik – terasa begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Mengapa Kitab Turats Penting?
Kitab turats bukan sekadar teks kuno berdebu. Di dalamnya terkandung warisan intelektual Islam yang kaya akan hikmah. Di era modern yang serba instan ini, banyak orang mulai melupakan pentingnya menggali tradisi keilmuan Islam. Padahal, kitab-kitab seperti Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali atau Tafsir Al-Jalalain menjadi bukti bagaimana ulama terdahulu tidak hanya mengkaji agama secara tekstual, tetapi juga kontekstual.
Namun, kitab-kitab ini sering dianggap “berat” atau sulit dipahami. Di sinilah Gus Baha hadir sebagai jembatan. Dengan keahliannya, ia mampu menjelaskan pemikiran-pemikiran rumit dalam kitab turats dengan bahasa yang membumi. Bukan sekadar menerjemahkan teks Arab ke bahasa Jawa atau Indonesia, tetapi benar-benar menautkan makna teks itu ke realitas masa kini.
Gaya Ngaji Gus Baha: Sederhana tapi Dalam
Salah satu keunikan Gus Baha adalah gayanya yang sederhana. Ia sering membuka kajiannya dengan candaan ringan atau cerita-cerita kehidupan sehari-hari. Tetapi jangan salah, di balik candaan itu, ia membawa pendengar ke dalam diskusi yang serius tentang persoalan akidah, syariat, hingga adab dalam kehidupan.
Misalnya, ketika membahas pentingnya keikhlasan dalam beribadah, Gus Baha sering mengaitkannya dengan fenomena kehidupan modern. Ia mengkritisi bagaimana manusia sekarang lebih sering sibuk memamerkan amal ibadah di media sosial daripada benar-benar melakukannya karena Allah. Dengan gaya khasnya, ia berkata, “Kalau habis salat langsung selfie, itu salatnya buat Allah apa buat follower?” Pernyataan sederhana ini langsung menusuk, membuat kita merenung tanpa merasa digurui.
Kitab Turats sebagai Sumber Pencerahan
Mengaji kitab turats bersama Gus Baha adalah perjalanan intelektual dan spiritual. Dalam setiap sesi, beliau selalu menekankan bahwa kitab turats bukan sekadar dokumen sejarah, melainkan panduan hidup yang relevan sepanjang zaman.
Contoh yang sering diangkat adalah tafsir Al-Qur’an. Ketika banyak orang menganggap tafsir hanya soal memahami teks, Gus Baha justru menunjukkan bagaimana tafsir juga berbicara tentang konteks sosial, politik, dan ekonomi. Dalam kitab Al-Muwafaqat karya Imam Asy-Syatibi, misalnya, Gus Baha menjelaskan bagaimana syariat Islam dirancang untuk mewujudkan maslahat (kebaikan) bagi umat manusia.