Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Warung di Depan Pabrik Paving

18 Desember 2011   05:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:07 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

.::|Lembur di Kamis Malam Haduh cepek juga rasanya kerja hari ini. Seharian aku harus membuat laporan pelaksanaan proyek bantuan yang harus dikirim ke Jakarta Jumat besok. Pada hal hari Kamis seperti sekarang ini tugas rutin juga tidak bisa ditinggal begitu saja. Namun akhirnya dengan memeras otak dan mengetikkan jari tangan di atas keyboard komputer, semua laporan sudah selesai diketik, tinggal mencetaknya di kertas ukuran A4. Andai saja ada alat yang bisa menghubungkan kepalaku dengan komputer, sehingga kata demi kata bisa langsung ditransfer dari kepala ke komputer dengan kabel USB 3.0. Aku melihat jam tangan Fosilku, pas sudah jam 11 malam. Waktunya meninggalkan kantor nih. Tempat parkir sepeda motor sudah sepi, hanya tinggal sepeda motorku saja yang tertinggal. Sementara satpam kantor tampak berjaga di depan pintu gerbang sambil mendengarkan lagu dangdut yang biasa dipancarkan dari Radio Wijaya. Setelah memasukkan kunci kontak, Alhamdulillah sepeda motor bisa dinyalakan dengan mudah. Maklum, di musim hujan seperti sekarang ini sepeda motor bebekku seringkali ngadat karena kabel businya agak terbuka sehingga mudah kehilangan daya listrik. "Permisi Pak Sarju, saya pulang dulu", sapaku pada Pak Sarju yang telah menjadi satpam kurang lebih 10 tahun di kantor. "Silahkan Pak Choiron, apa sebaiknya tidak menginap di kantor saja sudah hampir tengah malam. Toh besok juga pasti kembali lagi ke kantor," ujar Pak Sarju dengan wajah serius. "Oh tidak Pak, saya pulang saja. Toh Gedangan dekat kok Pak, cuman 30 menit saja," jawabku sambil tersenyum lebar. "Baik Pak Choiron, hati-hati di jalan. Sepertinya hujan akan segera turun tuh," sahut Pak Sarju lagi dengan sopan. "Terimakasih Pak, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam," jawab Pak Sarju. Beberapa saat kemudian aku sudah berjalan menelusuri jalan Nginden tembus ke Prapen dan mulai berbelok ke arah Jemursari. Wah benar juga, sepertinya benar-benar mau turun hujan deras. Angin bertiup kencang dan dingin. Sementara beberapa kali kilatan cahaya petir dan bunyi gemuruh geledek menghiasi langit malam yang gelap. Aku harus segera sampai di rumah sebelum hujan turun nih. Bundaran Waru sudah mulai terlampaui. Sekarang sepeda motor meluncur melewati bundaran Aloha yang menuju ke arah Bandara Juanda. Sesampai di perempatan Gedangan, hujan gerimis sudah mulai turun. Waduh, aku melihat bencana di depan mata. Bila hujan turun deras, maka alamat akan basah kuyup karena aku baru ingat hari ini lupa membawa jas hujan. Tadi pagi sempat menjemur jas hujan yang biasa aku bawa setelah basah digunakan saat hujan kemarin. Namun yang harus dan hukumnya wajib aku selamatkan adalah notebook Dell kesayangku ini. Maklum, notebook tersebut hasil keringat mengerjakan proyek pemerintah 2 tahun lalu dengan susah payah. Ah, tinggal sebentar lagi. Aku sudah sampai di palang pintu kereta api menuju ke jalan perumahanku. Beruntung malam seperti ini jalan sepi, sehingga waktu tempuh rasanya 2x lipat dari saat siang hari yang ramai. .::|Hujan Deras Aduh celaka. Tetesan air gerimis lambat laun mulai membesar dan berubah menjadi hujan besar. Lebih celaka lagi, sesampai di depan balai desa, jalan ditutup karena ada persiapan acara pernikahan. Penduduk di Desa Punggul memang kadang kala menyusahkan pengguna jalan. Selama aku tinggal di perumahan, lebih dari 10x aku harus mencari jalan berputar karena jalannya ditutup saat ada kegiatan. Terpaksa akhirnya kali ini aku masuk ke sebuah gang untuk melewati jalan alternatif yang agak jauh karena melewati 2 kuburan desa dan sebuah pasar tradisional. Perjalanan ke rumah kurang 1.5km lagi persis saat hujan deras dengan butiran air yang besar-besar mulai menerpa kaca helm menimbulkan bunyi platek-pletok. Apa boleh buat, aku harus mencari tempat berteduh kalau tidak ingin notebookku basah kuyup dan masuk angin. Beruntung diantara jalan gelap, aku melihat sebuah warung dengan nyala lampu yang lumayan terang. Segera aku berhenti di depan warung tersebut dan bergegas masuk ke dalam. [caption id="attachment_150253" align="aligncenter" width="450" caption="Ilustrasi: warung Tua (boeangsaoet.wordpress.com)"][/caption] Setelah meletakkan helm yang basah dan tas notebookku, aku mulai memperhatikan sekeliling warung. Tampak seorang kakek-kakek sedang duduk di bale-bale bambu di sudut dekat pintu masuk, sambil menghisap dalam-dalam rokok kreteknya. Tampak juga seorang wanita dengan wajah tidak tampak jelas karena tertutup bayang-bayang kerupuk yang tergantung di tiang bambu. Satu-satunya penerangan di warung itu cuman sebuah lampu petromax yang kaos lampunya sudah mulai hitam dan tidak begitu terang. "Selamat malam Pak, Mbak," sapaku kepada mereka berdua. "Selamat malam juga mas. Kehujanan ya. Monggo silahkan berteduh di sini saja dulu," sambut kakek tadi. "Perlu saya buatkan kopi atau jahe Mas?" tanya wanita yang wajahnya belum jelas tadi. "Oh ya Mbak, kalau ada jahe hangat saja ya... Eh tolong mie gorengnya kalau ada." Aku lupa kalau malam ini perutku belum terisi makanan. Siang tadi saja cuman sempat makan roti isi  coklat vanilla. OMG... jagan sampai aku kolapse gara-gara terlambat makan. "Baik Mas, saya buatkan jahe hangat dan mie goreng instant ya," jawab si wanita. Wanita tersebut beranjak berdiri menuju dapur. OMG... ternyata si wanita penjual tersebut seorang gadis tinggi dengan wajah bundar alis tebal mata tajam dan rambut sebahu. Satu kata, cantik. Wanita tersebut berlalu menuju dapur sambil tersenyum ke arahku. OMG... mengapa jantungku berdegup lebih kencang dan aliran darahku lebih deras saat melihat senyuman dan tatapan matanya. Sambil menuggu makanan dan minumal selesai dibuat, aku coba memalingkan wajah ke luar. Hujan di luar masih cukup deras untuk diterobos. Rupanya warung ini persis berdiri di depan bekas pabrik paving yang telah lama tidak beroperasi. Aku tidak pernah ingat kalau di depan pabrik paving ini ada warung. Padahal rasanya baru minggu kemarin aku melewati jalan desa ini saat mengatarkan putriku Dita untuk membeli pakan ikan hiasnya di pasar. Aneh... Ah mungkin saja aku abai saat melewati jalan ini sebelumnya. .::| Gadis Bermata Tajam "Mas, ini jahe hangat dan mienya," terdengar suara merdu memecah suara hujan di luar. Aku membalik badan dan menghadap ke meja. Aku lihat wanita tersebut menyodorkan segelas jahe hangat yang diletakkan di tatakan terbuat dari keramik. Akupun menerimanya dan meletakkan di mejaku. Berikutnya dia menyodorkan mie goreng lengkap dengan tambahan sayur. Hmm.... aromanya benar-benar membuat selera makanku bangkit. "Monggo silahkan dinikmati mas," ujar wanita penjual.

"Terimakasih," balasku sambil menatap wajahnya yang ternyata dia juga sedang menatap ke arahku. Astaga naga... Baru kali ini aku melihat tatapan mata tajam dan bercahaya seperti Diah  Permatasi yang memerankan si Manis Jembatan Ancol.

Sambil melahap mie goreng tersebut, aku coba untuk membangun komunikasi. "Sudah berapa lama jualan di sini Mbak?" "Baru kok Mas, baru sekali..." jawabnya singkat. "Memang sebelumnya jualan di mana?" "Saya berasal dari desa Seruni depan sana, oh ya nama Mas siapa?" Aku merasa dia mencoba mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan nama. "Nama saya Choiron, nama mbak siapa ya?" Jawabku sambil balik bertanya. "Oh Mas Choiron, Choiron itu artinya baik. Jadi Mas Choiron itu pasti orang baik ya," ujarnya. "InsyaAllah semoga demikian Mbak. Saya berusaha untuk selalu menjadi orang yang baik seperti amanat orang tua saya dengan memberi nama choiron. Oh ya, nama Mbak siapa kok dari tadi belum dijawab?" Aku lihat dia tersenyum manis sekali sebelum akhirnya menjawab. "Nama saya Mufarrihah, panggil saja saya Rihah." "Nama yang bagus juga dan indah. Memang kalau Mufarrihah artinya apa ya?" "Enggak tahu Mas Choiron, tapi artinya pasti baik jugalah," jawabnya denga lembut. Tak terasa semangkuk mie instan dan segelas jahe hangat sudah "di-download completed". Sementara di luar hujan tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Jam ditangan sudah menunjukkan jam 1 pagi dini hari. Haduh.. tidak mungkin aku tidur di warung ini. "Mas Choiron bisa pakai ini saja kalau mau nekat pulang," ujar Rihah sambil menyodorkan sebuah kantong plastik hitam besar. Ah benar juga. Aku bisa membungkus tas notebook ini dengan kantong plastik besar tersebut tanpa takut basah kehujanan. Akupun menerima uluran plastik hitam dari Mufarrihah. "Terimakasih Rihah." "Sama-sama Mas..." Setelah membungkus tas notebook dan membayar makanan dan minuman, akupun bermaksud pamitan pada si kakek yang telah menemani aku berteduh di warung ini. Namun pandangan mataku tak menemukan sosok kakek tua yang tadi duduk di bale-bele bambu di sudut ruangan. Ah sudahlah mungkin beliau sudah pulang atau pergi kemana tanpa aku ketahui karena saking terpesonanya dengan kecantikan, tatapan mata, senyum dan kehalusan gaya bertutur Mufarrihah ini. "Baiklah Mbak Rihah, saya pamit dulu. Terimakasih atas tempatnya untuk berteduh dan makanan serta minumannya." "Iya mas Choiron, sama-sama," sambil dia menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Aku menyambut uluran tangannya dengan penuh perasaan. Telapak tangannya hangat penuh persahabatan. Akupun keluar dari warung menuju ke sepeda motor yang dari tadi kehujanan. Rihah mengantarku hingga di depan pintu warungnya. Untung motor bebeku tidak pilek dan mogok terkena hujan. Sekali distarter langsung menyala dan siap melaju. Aku melambaikan tangan ke Rihah sebagai tanda berpamitan. Lima menit berikutnya, aku sudah sampai di rumah dan langsung memarkir motor di teras rumah. Sejurus kemudian istri tercinta membukakan pintu. "Dari mana toh Pak, kok pulangnya malam sekali? Tanya istriku dengan mata merah karena sudah tidur tadi. "Lembur buat laporan nih. Terus sampai di jalan desa sebelah hujan deras sehingga tertahan di warung depan bekas pabrik paving," jawabku. Aku masuk ke dalam rumah sambil meletakkan tas notebook yang masih terbungkus plastik hitam. Sepatu, celana, jaket dan baju semuanya basah kuyup. Semua aku lepaskan dan letakkan di bak cucian. Istriku masih terdiam dan sepertinya sedang berfikir keras. "Pak, mana awa warung di depan bekas pabrik paving. Di depannya cuman ada kuburan toh Pak." Aku berhenti sebentar saat akan menuju ke kamar mandi, untuk mencoba mengingat-ingat. "Ah tapi buktinya ada kok warungnya. Bahkan aku tadi sempat beli segelas jahe hangat dan semangkuk mie instan," sergahku dengan nada yakin. "Iya, tapi di depannya seingatku cuman ada kuburan Pak. Waktu tadi pagi aku ke pasa juga tidak tampak ada warung di depan bekas pabrik paving itu," jawab istriku dengan lebih yakin lagi, sambil berlalu menuju kamar. Sambil mandi aku mencoba berfikir keras mengingat kembali apakah di daerah tersebut terdapat kuburan atau tidak. Ah sudahlah, yang penting hari ini aku baru saja bertemu dengan seorang gadis yang bernama Mufarrihah dengan senyum, tatapan mata dan suara lembutnya yang masih terus berkesan. .::|Jumat Pagi - Hari Pembuktian Pagi ini aku bangun dengan badan masih lelah. Rasanya tidur hanya 4 jam masih belum cukup untuk mengembalikan stamina setelah kemarin malam lembur dan pulang hingga pagi dini hari. Namun pagi ini aku harus segera mengirimkan laporan ke Jakarta via TIKI JNE. Setelah sarapan pagi, akupun meluncur berangkat meninggalkan rumah menuju ke kantor. Kali ini aku sengaja memilih melalui jalan desa yang tadi malam aku lewati. Memang, aku masih penasaran dengan teka-teki keberadaan warung yang tadi malam telah aku singgahi. Istriku dengan sangat yakin kalau di depan bekas pabrik paving itu tidak ada warung, yang ada hanya kuburan. Lima menit berikutnya aku sudah sampai di jalan lokasi bekas pabrik paving. Benar apa yang disampaikan istriku tadi malam. Ternyata yang ada cuman sebuah kuburan umum dengan hiasan bunga kamboja di seantero kuburan. Tidak ada satupun jejak adanya warung di depan pabrik paving ini. Lalu kemana warungnya? Siapa kakek yang turut menemaniku tadi malam. Siapa pula Mufarrihah atau Rihah yang cantik dan menawan tersebut? Bagaimana dengan plastik hitam besar yang benar-benar ada dan melindungi notebookku dari air hujan. Lalu makan dan minuman apa yang aku makan tadi malam? Haduh semua pertanyaan tersebut berputar-putar di kepalaku tanpa bisa aku jawab.  Semua fakta antara percaya dan tidak percaya. Dunia yang aneh. Sesampai di kantor aku coba membuka kompasiana dan menuliskannya untuk Anda semua saat ini sambil mengenang kembali kejadian tadi malam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun