Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

'Kejamnya' Kerapan Sapi

18 Mei 2013   19:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:22 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1368879688124304975

Saat saya sedang bercengkrama bersama alm. Nenek, saya sering bertanya tentang kakek buyut saya. Mengetahui silsilah dan profil orang terdahulu dapat menjadi pelajaran bagi saya. Sedangkan nenek buyut saya masih hidup hingga saya duduk di bangku kuliah. Memang nenek buyut dikaruniai usia panjang dan kesehatan yang baik. Saya sering juga tinggal di rumah nenek buyut saat sekolah di SMP dan SMA, karena rumah nenek buyut hanya 2 km dari sekolah. Sedangkan rumah saya berjarak 16 km dengan angkutan yang terbatas kala itu. Dari cerita nenek saya tahu kalau kakek buyut memiliki sapi kerapan yang sering ikut dilombakan sejak jaman Belanda dulu. Menjadi juragan kerapan sapi, merupakan kebanggaan dan prestise sendiri bagi orang Madura kala itu. Tidak sembarang orang bisa memelihara dan ikut kerapan sapi. Selain karena harus punya uang yang cukup, si pemilik juga harus 'berilmu'. Pasalnya, adu kerapan sapi sebenarnya bukan hanya adu kecepatan larinya sapi, tetapi juga adu kekuatan ilmu. Masih menurut nenek saya, saat malam-malam menjelang pertandingan, kakek buyut harus berjaga-jaga dengan tidak tidur di malam hari. Biasanya pihak lawan akan mengirimkan ilmu sihir untuk mencelakai sapi atau si pemiliknya. Beberapa kali kakek buyut harus muntah darah bila sampai terkena serangan sihir di malam hari. Sehingga, lelaku berupa tirakatan harus dilakukan untuk menangkal atau menyembuhkannya bila sudah sampai terkena sihir. Adu ilmu berlanjut saat pertandinga. Tidak jarang sapi dibuat mengamuk saat akan dilombakan karena terkena gangguan sihir. Bahkan tak jarang, sapi berali tidak dalam lintasan lurus, namun tiba-tiba berbelok arah menjauhi garis akhir.  Entah untuk kerapan sapi saat ini. Namun rasanya fenomena adu ilmu tersebut masih sering terjadi. Termasuk dalam pertandingan bola sekelas galadesa yang sering dipengaruhi oleh unsur mistik. Sebagai orang Madura, sebenarnya saya termasuk yang tidak suka dengan kerapan sapi. Seumur hidup, saya baru sekali saja menonton di Stadion Olah Raga Bangkalan saat SMA dulu. Itupun melihatnya secara tidak sengaja, karena pas kebetulan pergi ke kota. Kesempatan pertama kali menonton kerapan sapi tersebut saya pergunakan untuk menonton tim kerapan sapi lebih dekat. Saat berada dekat dengan sapi-sapi di sudut stadion, saya melihat bekas luka yang ada di bokong sapi. Awalnya saya tidak paham mengapa bokong-bokong sapi itu penuh guratan bekas luka. Namun saat pertandingan dimulai, saya baru tahu kalau joki kerapan sapi dibekali dengan kayu berpaku yang digunakan untuk 'menggaruk' bokong sapi agar sapi langsung kaget dan berlari sekencang-kencangnya. Tentu saja setelah kerapan, bokong sapi menjadi terluka dan berdarah-darah. Sejak itu saya tidak lagi suka dan berharap untuk menonton kerapan sapi. Bagi saya, budaya kerapan sapi adalah hal yang kejam karena menyiksa binatang. Andai kerapan sapi tetap dilestarikan, namun dengan perbaikan aturan yang melarang si joki atau pemilik untuk menyakiti sapi dengan melukai. Mungkinkah kerapan sapi tanpa  menyiksa sapi? [caption id="attachment_254665" align="aligncenter" width="560" caption="Joki membawa tongkat berpaku ( diambil dari desakebunan.blogspot.com)"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun