Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Carok Berdarah Pagi Hari Ini

12 November 2011   03:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:46 1422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Courtesy of agusghozali.blogspot.com

Sudah menjadi tugas rutin saya setiap hari dari senin hingga sabtu mengantarkan Audi dan Dita ke sekolah. Namun sabtu pagi hari ini berbeda, karena saya berencana membetulkan pagar rumah dengan memasang plastik penutup pagar besi, agar kucing dan tikus tidak seenaknya saja keluar masuk halaman rumah. Jam 07.15 saya sudah tiba kembali ke rumah dan meminta istri tercinta menyiapkan sarapan. Sembari menunggu istri menggoreng ayam tepung untuk sarapan, sayapun memulai pekerjaan dengan  memotong plastik tebal yang telah saya beli dari toko bahan bangunan sebulan sebelum bulan puasa lalu. Beberapa potong kawat berikuran 15 cm telah juga saya siapkan untuk mengikat plastik tersebut. Sementara itu pagi hari yang cerah rasanya dirusak oleh suara-suara teriakan para pedagang pasar kaget di depan gang. Maklum, perumahan saya memang memperbolehkan para pedagang menggelar dagangannya di jalan utama perumahan dari jam 5 hingga jam 10. Namun baru kali ini saya merasa terganggu dengan celoteh dan teriakan sendau-gurau para pedagang tersebut. Beberapa kali saya mendengar teriakan seorang pedagang pria yang paling keras di antara mereka. Walau menggagu suasana, saya mencoba untuk bersabar dan mengabaikan teriakan suara-suara yang tidak nyaman di telinga. Rasanya panas juga mereka berbicara dengan suara keras-keras seolah-olah ini daerah kekuasaan mereka. Namun akan sehat dan hati lapang saya sementara waktu masih bisa mengabaikan mereka. Sambil mengikat plastik ke pagar dengan kawat, saya mencoba mengalihkan perhatian ke hal lain. [caption id="" align="aligncenter" width="379" caption="Courtesy of agusghozali.blogspot.com"][/caption] Entah energi dari mana yang menggerakkan tangan dan kaki, saya bergerak dengan cepat masuk ke dalam rumah. Saya menuju lemari kayu jati besar yang saya beli di Pasuruan tepat 1 minggu sebelum menikah dulu. Di dalamnya saya meyimpan 2 celurit kembar ukuran sedang yang cukup pas diselipkan di perut depan persis melingkar di antara pusar dan kemaluan. Tidak lupa saya menyambar jaket jeans untuk saya kenakan menutupi celurit yang saya bawa. Sejurus kemudian saya sudah berada di depan seorang pria salah seorang pedagang pasar yang suara kerasnya telah merusak pagi hari ini yang indah. Perawakan pria agak botak tersebut cukup tinggi tegap dengan kumis hitam tebal melintang di atas bibirnya. Seketika dia menghentikan celotehnya saat saya menatapnya dengan tajam. "Mohon maaf Pak," kata saya memulai pembicaraan. "Iya ada apa Mas," sahutnya dengan nada datar. "Mohon maaf, bisakah Bapak dan teman-teman di sini tidak berbicara dengan suara keras, karena kami sebagai warga cukup terganggu dengan suara-suara Bapak," kata saya dengan intonasi rendah dan mencoba untuk menyampaikan dengan sopan. "Maksud kamu, saya tidak boleh bicara begitu!" dengan nada ketus dan mata melotot dia menanggapi himbauan saya. Mendengar dia menyebut saya dengan kata 'kamu', saya bertambah panas. "Bukan begitu Pak, saya hanya menghimbau agar Bapak tidak bersuara terlalu keras di lingkungan sini karena mengganggu kenyamanan kami," ujar saya lagi dengan suara  lebih tegas. Pedagang itu bangkit dari duduknya dan berdiri kira-kira 3 meter dari tempat saya berdiri. "Kalau saya tidak mau terus kamu mau apa?" tantangnya. Hah... ini kata-kata yang saya tunggu dari tadi. Rupanya himbauan sopan saya agar dia tidak bersuara keras disambutnya dengan tantangan. "Begini Pak, saya mencoba sopan untuk mengingatkan Bapak, lalu mengapa Bapak bersikap kasar begitu kepada saya," ujar saya lagi menanggapi tantangannya. Pedagang itu masih berdiri dengan tangan bertolak pinggang dan menatap tajam. "Baiklah kalau memang Bapak tidak bisa saya ajak berdiskusi, saya akan berikan penawaran." Sayapun mengeluarkan 2 buah celurit yang sedari tadi saya selipkan di pinggang. Pedagang itu agak terkejut melihat kenekatan saya. Buat saya ini adalah uji nyali sebagai seorang pria. Apakah omong besarnya sebanding dengan nyalinya. Walaupun  saya sendiri tidak pernah berharap sampai menggunakan celurit yang saya beli di Sumenep saat ada acara pelatihan komputer dengan BKD Pemkab Sumenep beberapa tahun lalu. "Baiklah, kalau Bapak jual, saya beli," sambil melemparkan salahsatu selurit yang saya pegang ke dekat kakinya. "Saya punya dua buah celurit Pak, Bapak boleh pakai celurit saya ini kalau memang Bapak merasa benar untuk mempertahankan pendapat Bapak tadi," ujar saya dengan suara lebih keras lagi. Pedagang tersebut memungut celurit yang saya lemparkan tadi kemudian berkata, "Karena kamu yang nantang untuk duel, pantang bagi saya nih Jawara dari Gunung Tidar untuk mundur," sambil dia menepuk dadanya. Seketika suasana menjadi heboh. Para pedagang pasar wanita dan ibu-ibu perumahan yang sedang belanja semburat menjauh dari tempat kami berdiri. Sedangkan pedagang pria yang lain berdiri melingkar di sekitar kami berdua berdiri. Saya mundur ke tempat yang lebih luas. Dia maju untuk mencari posisi yang pas sambil melepas sarung celurit yang terbuat dari kulit. Dilemparnya sarung celurit tersebut ke pinggir sambil mendengus tajam. Tiba-tiba tanpa aba-aba dia mengayunkan celurit tersebut ke arah kepala. Secara reflek saya melompat ke belakang dengan gerakan Jurus Putri yang saya pelajari dari Perguruan Silat Perisai Diri. Kaget juga melihat kenekatan pedagang ini. Namun nasi sudah menjadi bubur. Saya juga tidak bermaksud mundur dari carok satu lawan satu ini. Segera saya melepas sarung celurit yang saya genggam di tangan kanan. Dengan gerakan Jurus Satria, saya mengayunkan celurit menyamping mengarah ke leher pedagang tersebut. Crank.... Terdengar 2 logam keras beradu disertai dengan percikan bunga api saat dia menangkis serangan celurit saya. Serangan berikutnya saya susulkan dengan celurit yang saya putar-putar di tangan kanan. Sebuah sabetan ke arah perut nyaris saja membuat perut pedagang tersebut sobek kalau saja dia telat mundur ke belakang. Serangan tersebut hanya membuat baju pedagang tersebut sobek. Dia mundur sambil terhuyung-huyung dengan wajah kaget. Melihat serangan terakhir saya tadi hampir membuat dia harus operasi cesar, kemarahannya justru semakin memuncak. Kali ini pedagang tersebut agak  sedikit menunduk dengan kuda-kuda kaki kiri di depan dan kaki kanannya di belakang. Saya tahu dia akan melompat ke depan untuk menyerang. Seketika saya mengambil jurus Pendeta dengan kaki kiri dan kanan menyamping. Benar saja, dalam hitungan detik dia melompat ke depan menerjang ke arah saya dengan celurit diayunkan dari samping kanan. Seketika saya melompat ke kiri dan menangkis sabtean celuritnya menyilang persis menghantam bagian tengah celuritnya. Crang.... sekali lagi celurit kami beradu dengan keras menimbulkan suara dan bunga api. Benturan keras tersebut ternyata membuat kedua celurit kami patah. Celurit yang saya pegang patah di sepertiga bagian ujung, sedangkan celurit yang dia pegang patah persis di tengah lengkungan. Sayapun membuang celurit patah tersebut. Dia juga melakukan hal yang sama. Saya pikir dia akan menerima tantangan untuk melanjutkan pertarungan tangan kosong. Tetapi dugaan saya salah. Dia mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku celananya. Wah gawat nih pikir saya.

Sejurus kemudian dia menyerang kembali dengan menusukkan pisau lipatnya lurus mengarah ke leher. Saya memiringkan badan sedikit sambil menangkap pergelangan tangannya. Berhasil! Dengan gerakan Jiu-Jitsu, saya menekuk tangannya ke belakang mencoba menjatuhkan pisau lipatnya sambil berusaha menjatuhkannya di tanah. Namun ujung pisaunya sempat menggores ujung jempol tangan kanan hingga akhirnya darah pertama carok pagi ini pecah dan mengalir deras.

[caption id="attachment_143146" align="aligncenter" width="228" caption="Jempol Berdarah"][/caption] Pisau terlepas dari genggaman tangannya ketika dia jatuh ke tanah berdebum. Sementara tangan saya masih erat memegang pergelangan tangan kanannya. Tanpa menunggu lama saya melingkarkan kaki di lengan tangan kanan menekan dada dan kepala hingga mengunci tangan kanannya. Kuncian yang disebut arm-lock ini saya pelajari dari Royce Gracie dari Barzilian Jiu-Jitsu yang saya tonton pada Ultimate Fighting Championship (UFC) beberapa tahun lalu. Sedikit hentakan membuat sendi bahunya bergeser dan membuat pedagang tersebut kesakitan. [caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Courtesy of jiujitsubrotherhood.com"]

Courtesy of jiujitsubrotherhood.com
Courtesy of jiujitsubrotherhood.com
[/caption] Saya tersadar nyeri di jempol saya yang berdarah saat melepas kuncian lengan pedagang tersebut. Darah masih mengucur deras dari jempol kanan saya. Saya coba menghentikannya dengan pijatan di beberapa bagian tangan sekaligus untuk mengusir nyeri. "Pak...  sarapannya sudah siap," teriak  istri saya dari depan pintu rumah. Oh saya tersadar dari lamunan. Jempol saya benar-benar berdarah namun bukan karena sabetan pisau. Rupanya saat memasang kawat pagar sambil melamunkan carok tadi, ujung kawat tersebut sempat menggores jempol hingga berdarah. "Iya... saya segera masuk,"  sahut saya menanggapi pengumuman dari istri kalau sarapannya sudah siap di meja makan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun