Mohon tunggu...
chitania sari
chitania sari Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah adalah Etalasi Kebinekaan

11 Februari 2021   15:11 Diperbarui: 11 Februari 2021   15:17 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak yang bilang bahwa Reformasi adalah pintu bagi keterbukaan, sayangnya keterbukaan itu bagi banyak orang dianggap mahasegala, dimana banyak hal yang sebelumnya direpresi (ditekan) pada masa Orde Baru, pada era 2000-an, ekspresi muncul tanpa kendali.

Hal itu termasuk dalam soal keagamaan. Salah satu ekspresi atau kebebasan keagamaan yang muncul kala itu adalah konservatisme agama. Sebenarnya beberapa tokoh Islam lulusan Al-Azhar, dan beberapa intelekmuda Islam yang belajar di beberapa negara Barat seperti Gus Dur dan Nurkholis Madjid, melihat indikasi konservatisme termasuk intoleransi ini mulai muncul sejak Orde Baru namun mereka mengambil jalan bawah tanah alias sembunyi-sembunyi.

Secara perlahan tapi pasti, konservatisme agama itu beralih rupa menjadi intoleransi. Intoleransi ini makin populer karena dianggap kebenaran baru dalam beragama yang sebelumnya ditekan oleh orde baru.

Munculnya fenomena itu pada masa reformasi, sempat terjadi pembiaran oleh pemerintah kala itu. Mereka memanfaatkannya dengan muncul ke permukaan dan menyebarkannya ke banyak bidang dengan banyak cara. Antara lain  menyebar di kalangan pendidikan, kalangan perbankan, di pengajian-pengajia ekslusif dan sebagainya.

Kita bisa lihat (sampai sekarang) ada beberapa ekstra kurikuler di universitas yang mengajarkan intoleransi bahkan radikalisasi dalam kegiatannya. Mereka mengadakan pertemuan-pertemuan eksklusif yang membahas agama dan itu seakan mendapat restu dari para senior bahkan orangtua dan mereka mengaitkannya dengan identitas keagamaan.

Pembiaran oleh pemerintah kala itu diperburuk dengan aturan-aturan sekolah yang dibuat oleh pengurus dan penjabat sekolah. Aturan-aturan intoleran itu ditambah dengan prespektif pribadi sang guru yang cenderung juga intoleran sehingga perpaduannya menghasilkan atmosfer sekolah yang mengunggulkan keyakinan mayoritas. Sehingga tatakelola kebhinekaan nyaris tidak dikenal di banyak sekolah di Indonesia.

Prespektif pribadi sekolah disini artinya seringkali guru punya standing point sendiri yang berbeda dengan negara dalam memandang sesuatu, misalnya soal minoritas. Jika berdasarkan prespektif Pancasila, fenomena minoritasadalah sebuah keniscayaan dan setara dengan mayoritas, namun dalam prespektif guru pribadi, mereka menekankan bahwa hanya mayoritaslah yang 'dihitung' di negara ini. Kebenaran hanya ada pada agama A dan bukan agama yang lain. Prespektif inilah yang diajarkan ke anak didik sehingga tidak salah jika banyak pihak termasuk anak PAUD sampai mahasiswa menjadi intoleran.

SKB tiga menteri ini adalah momentum bagi kita untuk memperlihatkan kembali bahwa kita pahami sejarah dan akar bangsa ini dengan baik. Bahwa bangsa ini besar dan ada dengan perbedaan atau kebinekaan yang menyertainya, dan sekolah diharapkan menjadi etalase kebinekaan itu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun