Mohon tunggu...
chitania sari
chitania sari Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa

suka nulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Toleransi dan Pilkada Tahun Ini

1 Januari 2020   18:00 Diperbarui: 1 Januari 2020   18:18 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah perjalanan panjang Pilpres 2014, 2019 dan Pilkada 2016, tahun 2020 kita akan menghadapi Pilkada. Pilkada 2020 ini akan dihadapi oleh sekitar 270 daerah sehingga bisa dipastikan pesta demokrasi skala lokal ini menghiasi agenda masyarakat.

Kekuatiran terbesar beberapa tokoh masyarakat adalah apa yang  terjadi pada beberapa Pilpres dan Pilkada terjadi lagi pada Pilkada tahun ini. Pilpres dan Pilkada yang sudah kita lalui adalah Pilkada yang penuh dengan konflik dan menghasilkan keterbelahan masyarakat. Konflik dan keterbelahan ini nyaris tidak bisa pulih sampai sekarang.

Penyebab konflik adalah pembelaan yang berlebihan antara pendukung kubu A atau B yang tentu saja bertentangan. Mereka tidak saja saling fanatic namun juga menggunakan issue agama untuk menarik simpati dan menebarkan fitnah untuk menyaring pendukung. Isue-isue salah satu calon pemimpin adalah PKI adalah salah satu cara untuk mendapatkan pendukung.

Pada Pilkada Jakarta, 2017 ujaran kebencian mulai dipergunakan sebagai issue sentral dalam mendapatkan pendukung. Kebetulan salah satu calon tersandung kasus penistaan agama sehingga kebencian lebih mudah dibakar kepada masyarakt Jakarta. Pada saat itu sentiment agama memang menjadi kuda utama untuk memenangkan calon tertentu.

Seperti yang diungkapkan pada awal tulisan ini, bahwa beberapa tokoh memperkirakan bahwa sentiment agama masih dipergunakan pada Pilkada tahun ini. Di beberapa media, mereka kerap mengatakan bahwa kemungkinan besar Pilkada di 270 daerah tahun ini masih memakai isu agama meski skalanya lebih kecil.

Menurut hemat penulis, pemakaian isu agama dalam politik seperti pilkada itu sebaiknya dihentikan alias jangan dipakai lagi. Karena 'ruh' yang ingin dicapai oleh politik lewat pilkada itu adalah kekuasaan. Kekuasaan umumnya bersifat terbatas, terkendala waktu, setahun, 4 tahun, 5 tahun, 8 tahun atau 10 tahun.

Selain terbatas waktu, kekuasaan juga terkendala figure atau sosok. Ada saosok yang dihormati dan ditakuti hanya ketika dia berkuasa saja, setelahnya masyarakat tidak hormat. Ada kalanya juga seseorang ditengah kekuasaannya itu tidak lagi dihormati oleh masyarakat, masyarakat malah ingin sang penguasa itu menghentikan kekuasaannya meskipun tenggatnya belum usai. Contoh paling nyata dalam kasus ini adalah mantan presiden Soeharto. Kita tahu meskipun dia dipilih kembali oleh wakil rakyat di MPR, masyarakat sesungguhnya tidak mengingini Soeharto kembali memerintah karena sifat represifnya.

Sementara agama sesungguhnya tidak punya kebersinggungan dengan kekuasaan. Tidak ada atau jarang ada kekuasaan itu karena agama tertentu atau yang lain. Agama adalah hubungan umat dengan 'Zat yang dipercayai oleh umatnya'. Bentuknya bisa agama Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu atau Kong Hu Chu. 

Sehingga dalam konteks ini, agama terlalu agung atau terlalu privat untuk dibersinggungkan dengan Pilkada apalagi memakainya sebagai 'kuda' untuk menarik simpati konstituen.

Satu hal lagi kenapa agama seharusnya tidak dipakai untuk meraih kekuasaan adalah karena bangsa ini kental dengan keragaman dan toleransi. Awal bangsa ini dibangunatas dasar keberagaman sehingga toleransi mutlak ada. Sehingga menghina atau melecehkan agama lain hanya demi suara agar seseorang bisa menjadi bupati atau gubernur adalah hal yang sangat hina.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun