Sejak lama memang kejujuran aparatur pemerintah itu sesuatu yang langka. Ketidak jujuran itu banyak sebab. Yang sering terjadi adalah karena adanya perintah dari atasan untuk tidak jujur atau menutupi suatu kebijakan yang salah, menjadi kebijakan yang terkesan benar dan katanya untuk kepentingan publik.
Di kalangan birokrasi kelembagaan kementerian Republik Indonesia, soal ketidak jujuran ini sudah semakin "menggila", sistematis, dan masif. Indikasinya antara lain di beberapa kementerian, pengisian pejabat eselon 1 dan 2, banyak digantung dan dijadikan Plt (Pelaksana tugas) sampai sekarang ini.
Jabatan Plt, memungkinkan Menteri yang bersangkutan membongkar pasang pejabatnya sesuai dengan keinginan dan selera sang Menteri yang luput dari pemantauan KASN (Komite Aparatur Sipil Negara), dan MenPAN.
Pola strategi kebijakan Menteri itu ternyata efektif dan ampuh membungkam atau membuat para aparatur pemerintahnya menjadi tidak jujur, kehilangan integritas, aji mumpung, dan asal bapak senang (ABS).
Para pejabat eselon I dan II (Pimpinan Tinggi Pratama dan Madya), saat ini mendapatkan remunerasi (Tunjangan Kinerja) cukup besar. Eselon I bisa sampai Rp. 30 juta dan eselon II bisa sampai p. 20 juta tergantung grade performance Kementeriannya. Jika mereka kehilangan jabatan itu, tukin nya bisa nyungsep yang akan menggoyahkan sendi perekonomian rumah tangga.
Strategi berikutnya, Menteri merekrut para Staf khusus dan Tenaga Ahli Menteri, yang mengendalikan dan mensupervisi para Plt. maupun yang definitif pejabat eselon I dan II. Dan juga menyiapkan konsep-konsep kebijakan termasuk perancangan suatu produk regulasi untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu.
Lahirnya RUU Omnibus Kesehatan, yang pada awalnya tidak ada pihak yang mengaku siapa yang membuat Naskah Akademik dan RUU nya, tetapi draftnya beredar di masyarakat. Merupakan indikasi adanya pemain (invisible hand) yang menyusunnya. Pihak Kemenkes membantah, Baleg DPR juga membantah. Tetapi lucunya secara diam-diam dalam senyap para aparatur pemerintah membahasnya dan menyiapkan DIM-DIM sesuai dengan keinginan sang Menteri.
Tentu para stakeholder terkait ribut. Seluruh Organisasi Profesi Kesehatan heboh. Sebab draft RUU Kesehatan yang diumpan oleh invisible hand itu, memporak porandakan 10 UU Sektor Kesehatan lainnya, dan menyambar UJU Pendidikan dan UU SJSN/BPJS.
Para OPK (Organisasi Profesi Kesehatan) protes, mulai dengan cara santun, audiensi, memasukkan konsep -- konsep perbaikan DIM, sampai dengan protes melalui media sosial dan elektronik.
DPR dan Pemerintah jalan terus, tidak goyah dengan keinginan mereka. Dan ternyata belakangan pihak Baleg DPR mengaku bahwa RUU itu inisiatif DPR dan sudah masuk dalam Prolegnas. Sempurnalah "kebohongan" yang dibangun antara Kemenkes dengan Baleg DPR. Hak inisiatif DPR, tetapi Kemenkes yang menguasai bahannya dan aktif membahasnya sampai pada pendekatan DIM.