Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Apakah DPR Bukan Lagi Wakil Rakyat?

20 Januari 2023   13:44 Diperbarui: 20 Januari 2023   22:07 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pertanyaan itu lama ada dipikiran masyarakat. Terutama bagi kelompok masyarakat yang akan berdampak atas UU yang dibuat DPR bersama pemerintah. Kelompok buruh dengan lahirnya UU Cipta Kerja yang dianulir oleh MK jika dalam 2 tahun tidak dilakukan perbaikan sebagaimana  keputusan MK.

Soal UU Cipta Kerja ini, pemerintah tidak kekurangan ilmu berkelitnya. Dengan kekuasaan yang diberikan Konstitusi kepada Presiden, diterbitkan Perpu No.2 /2023. Katanya keadaan genting yang memaksa, dan adanya kekosongan hukum.  Sudah begitu banyaknya produk hukum berupa Undang-Undang sampai di Omnibus Law kan, masih juga ada kekosongan hukum?  Kegentingan yang memaksa  apakah sudah ada yang menjadi korban, belum juga kita dengar.

DPR terkesan tiarap soal Perppu itu. Kalau adapun komentar standar. Tunggu sampai kami selesai reses dan akan di bahas untuk dipelajari.

Yang sedang berlangsung hangat dibicarakan sekarang ini. Apalagi  sudah diangkat dalam berita utama oleh Majalah Tempo 16 -- 22 Januari 2023, adalah tentang RUU Omnibus Kesehatan.  Menurut majalah tersebut, sungguh miris kita membacanya. Bagaimana "drama" anatara DPR dan Kemenkes. DPR dalam hal ini Badan Legislatif mengakui bahwa RUU itu atas inisiatif DPR, tetapi ditanya tentang Naskah Akademik RUU mereka belum membuatnya.

Sedangkan menurut sumber Majalah Tempo, RUU Omnibus Kesehatan keinginan pemerintah dalam hal ini Kemenkes, tetapi meminjam tangan lembaga Baleg DPR ( bukan (Komisi IX) agar  Menkes tidak berhadapan langsung dengan masyarakat. Biarlah Baleg DPR yang jadi bemper. Dan DPR dengan senang hati menerima demo organisasi profesi Kesehatan.  Artinya DPR itu rela berhadapan dengan rakyatnya demi melindungi kepentingan Kemenkes.

Kalau kita dalami lagi siapa dibelakang Kemenkes, lihat saja substansi draft Naskah Akademik, isi pasal per pasal naskah RUU dan DIM yang sudah rapi tersedia. Tetapi tidak ada yang mengaku siapa yang ,membuat. Tidak ada transparansi. Di lingkungan Kemenkes, berkembang berita sebagaimana ditulis Majalah Tempo, bahwa ada Tim Khusus (Staf Khusus) yang menyusun, bekerja dalam senyap.

Dugaan  bahwa RUU Omnibus Kesehatan, kuat kepentingan Kemenkes, terlihat dalam norma pasal-pasal yang tersusun. Bagaimana terpusatnya semua urusan yang terkait kesehatan. Sepertinya persoalan kesehatan itu dapat diselesaikan sendiri oleh Kemenkes. Hal tersebut terlihat dalam upaya membentuk Komite Kebijakan Kesehatan yang dipimpin oleh Menkes. Tanpa disadari RUU itu mereduksi wewenang Presiden yang membuat kebijakan dan tertuang pada Visi dan Misi Presiden. Pak Jokowi sudah menegaskan tidak ada Visi dan Misi Menteri. Semua Menteri harus berpegang pada Visi dan Misi Presiden.

Tidak cukup sampai disitu, bahkan UU SJSN dan UU BPJS "diobok-obok" dalam RUU Omnibus Kesehatan,  dengan merontokkan Organ BPJS  Direksi dan Dewas harus berada dibawah kendali Menkes. Luar biasa. RUU itu tidak peduli, bahwa UU SJSN dan BPJS brersifat Lex Specialist. Hantam saja, walaupun menabrak rambu-rambu perkara belakang. BPJS itu yang menurut UU SJSN/BPJS di bawah Presiden dan bertanggung jawab langsung pada Presiden  diambil begitu saja dari "leher" Presiden, dan diletakkan di "leher" Menkes.

Apakah DPR menyadari hal itu sebagai pihak yang mengaku menginisiasi RUU Omnibus Kesehatan, mengambil dengan paksa "rantai BPJS" dari leher Presiden dan menyematkan nya ke leher Menkes?  Dan langkah DPR itu untuk kepentingan siapa? Apakah untuk kepentingan rakyat, khususnya peserta JKN? Bukankah dengan meletakkan Organ BPJS dibawah kendali Menkes, BPJS semakin melemah? Bukanlah akan hilangnya check and balances dalam  menjamin pelayanan kesehatan bagi peserta JKN?

Patut diduga RUU Omnibus Kesehatan yang memporakporandakan UU SJSN/BPJS mengangkangi perintah Pasal 34 ayat (2) dan Ayat (4) UU Dasar 1945. Ingin mengembalikan BPJS itu seperti Askes Persero, yang begitu mudahnya birokrasi kementerian  mengendalikan segala pembiayan, menjadi sapi perahan untuk kepentingan diluar kepentingan penerima manfaat pelayanan JKN.

Perlu diketahui, bahwa Asset BPJS Kesehatan itu sangat besar. Dana Badan saja  puluhan triliun rupiah. Dana Jaminan Sosialnya yang seluruhnya berasal dari iuran peserta, 2 tahun terakhir ini  Rp. 139 T (2021) dan  Rp. 143 T  (2022).  Ada peningkatan  y --to -- y, Rp. 4 T.  BPJS Kesehatan surplus Rp. 49 T tahun 2021 dan Rp. 29 T tahun 2022.  Jika dikelola dengan banyaknya intervensi birokrasi, maka bukan tidak mungkin BPJS kesehatan akan menjadi bangkrut, dan pelayanan kesehatan perorangan yang cakupannya sudah lebih 85% dari jumlah penduduk semakin memburuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun