Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keberlangsungan Program JKP, Pasca Keputusan MK

29 November 2021   09:03 Diperbarui: 29 November 2021   09:06 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, bagi buruh/pekerja yang melakukan perjanjian kerja dengan pemberi kerja, diamanatkan dalam UU No. 11/2020 Tentang Cipta Kerja, pada pasal 182 dan 185 ayat b.

Sebagai tindak lanjutnya dengan cepat, pemerintah menerbitkan PP nomor 37/2021 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), dikeluarkan 2 Februari 2021.

Pihak Kemenaker merencanakan akan meluncurkan Program jKP pada tahun 2022, dan jika putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah dan DPR dalam jangka waktu 24 bulan, maka sudah dapat dipastikan program JKP akan gugur dengan sendirinya.

Pada saat ini, Program JKP sangat dibutuhkan oleh pekerja yang mengalami PHK karena merosotnya pertumbuhan ekonomi padat karya, karena pandemi Covid-19. 

Program JKP adalah program yang diharapkan sustein yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan, sebagai katup pengaman bagi mereka terkena PHK dalam jangka waktu tertentu dapat mempertahankan hidup yang layak, sebelum mendapatkan pekerjaan atau masuk  lagi bekerja sejalan dengan semakin menggeliatnya dunia usaha.

Dalam Program JKP yang diatur dalam PP 37/2021, sudah mengatur dengan jelas apa yang menjadi kewajiban pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan. Pemerintah mengalokasikan 0,22% dari gaji/upah perbulan sebagai bentuk PBI ( Pemberian Bantuan Iuran). Dan 0,24% dari gaji/upah sebulan dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan, yang bersumber dari rekomposisi JKK 0,14% dari upah/gaji sebu;lan, dan JKm 0,10% dari upah/gaji sebulan. Total iuran program JKP 0,46% dari upah/gaji sebulan. Ditanggung secara renteng antara pemerintah pusat dan BPJS ketenagakerjaan.

Kenapa rekomposisi BPJS Ketenagakerjaan, diambil dari JKK dan JKm? Jawabannya adalah dalam rezim UU SJSN,  dana JKK dan JKm jika surplus tidak boleh digunakan untuk program Jaminan Sosial lainnya. Selama ini, sisa iurannya setiap tahun surplus,  dengan pemberian manfaat bagi peserta cukup baik, Bahkan lebih baik dari yang dikelola PT. Taspen untuk ASN.

Sayanganya, dalam PP 37/2021 itu, manfaat JKP yang diberikan kepada mereka itu waktunya relatif singkat, maksimum 6 bulan. Jika lewat 6 bulan, belum dapat pekerjaan, langsung bisa jadi "gepeng".

Demkian juga halnya, besarnya manfaat uang tunai program JKP, hanya 45% dari gaji/upah terakhir, untuk tiga bulan pertama, dan 25% dari gaji/upah terakhir, untuk 3 bulan berikutnya.

Untuk mensiasati agar tidak langsung jadi "gepeng" Kemenaker melanggengkan Permenaker 19/2015, yang bertentangan dengan UU SJSN.  Dalam Permenaker itu, pekerja setelah masa tunggu satu bulan, dapat mengambil JHT nya, yang seharusnya  minimal 10 tahun masa iur, dapat diambil sebagian (30%).

Jangan heran, selama pandemi ini, pengambilan dana JHT tren meningkat terus, karena kebutuhan mendesak bagi mereka yang terkena PHK. Di pihak lain, program JKP baru akan diluncurkan tahun 2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun