Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Honorarium Jenazah Covid-19 dalam Kedaruratan Pandemi

29 Agustus 2021   01:51 Diperbarui: 29 Agustus 2021   01:55 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sejak Tahun 2020, anggaran APBD Propinsi, Kabupaten/Kota atas kebijakan pemerintah pusat,  harus dilakukan refocusing untuk menunjang kepentingan penanganan Covid-19. Bukan saja refocusing, tetapi sejumlah tertentu APBN yang diperuntukkan sebagai sumber APBD diambil oleh pemerintah pusat untuk kepentingan perlindungan sosial dan kesehatan dalam upaya menangani Covid-19.

Banyak program-program strategis daerah yang tertunda atau dipotong, apalagi kegiatan penunjang. Perjalanan dinas berkurang banyak, biaya-biaya rapat kerja, rapat koordinasi, hampir atau nyaris hilang. Kalau ada meeting cukup melalui virtual.

Kalau di Kementerian yang saya ketahui, pengurangan biaya-biaya penunjang bahkan program yang tidak penting, sudah banyak dilakukan. Para pejabat Eselon I sebagai Pengarah atau Nara Sumber suatu kegiatan APBN, tidak boleh mendapatkan honor. Hal ini diutarakan oleh salah seorang Sekjen Kementerian yang saya kenal baik, karena Menkeu beralasan, mereka itu sudah mendapat Tukin (Tunjangan Kinerja) yang cukup besar.

Kalau narasumber dari luar, yang diundang karena kepakaran dan atau pengalaman dalam pemerintahan boleh diberikan honor dalam jumlah tertentu yang sudah diatur dalam SBU nya.

Suasana keprihatinan di level pemerintah pusat, di hampir semua kementerian atau lembaga non kementerian, yang mempunyai irisan tugas dengan keadaan darurat pandemi Covid-19 sudah menjadi new normal, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa "ledakan" kasus korupsi sungguh mengagetkan terjadi di dua kementerian. .

Ledakan kasus korupsi besar di level pusat itu,  ibarat gempa tektonik, juga diikuti ledakan-ledakan lainnya dengan   skala rechter yang lebih kecil.

Ledakan skala kecil itu jumlahnya sangat banyak. Dalam suasana Covid-19 ada kasus bansos, harga Swab PCR yang tinggi,  pembelian mobil dinas mewah Gubernur,  dan paling anyar adalah Bupati, Sekda, Ka.BPBD, Kabid BPBD Kabupaten Jember mendapatkan honor 70 juta lebih atas keberangkatan jenazah Covid-19 ke tempat pemakamannya.

Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Mochamad Ardian mengatakan sebenarnya pejabat boleh menerima honor.

Namun, penerimaan itu harus berdasarkan kontribusi yang nyata kepada suatu hal atau kegiatan atau dengan kata lain pejabat ikut aktif di dalam kegiatan.

"Sah-sah saja (pejabat) menerima honor sepanjang punya kontribusi nyata ya. Dia artinya ikut terlibat. Bukan hanya seremonial atau cuma tanda tangan saja," ujar Ardian saat dikonfirmasi Kompas.com, Jumat (27/8/2021).

"Honorarium silakan diberikan sepanjang memang punya kontribusi nyata dalam kegiatan dan tidak boros. Tidak hanya duplikasi dengan pelaksanaan tugas dan fungsi yang sudah dibiayai dari gaji dan tunjangan jabatannya," lanjutnya.

"Jangan sampai mengejar penyerapan anggaran saja. Jangan sampai karena nama dan jabatannya sebagai pejabat padahal dia tidak beraktivitas itu lantas diberikan honor," ungkap Ardian.

Pernyataan Dirjen Kemendagri ini, bersayap. Apakah Bupati Kabupaten Jember yang menerima honor yang disiapkan SK nya oleh Bupati, bersumber dari APBD dengan judul Honor Pengarah Penyelenggaraan Pemakaman Jenazah Covid-19  memang melakukan kerja nyata mengantar jenazah ke kuburan, berapa mayat yang diantar. Apa ada 700 mayat, karena disebut ada 700 keg x Rp. 100.000.-, sekitar Rp. 70 juta!

Apakah pertanggungjawaban seperti ini syah dan dibenarkan menurut pola penganggaran APBD? Secara administrasi juga sudah ada ketidak cocokan dengan kenyataan kegiatan fisik di lapangan.  

Apa benar Bupati dan Sekda ada mengantar 700 mayat? Kalau penggali kubur jelas kerjanya, tapi  yang didapatkannya apakah berdasarkan jumlah mayat atau lamanya bekerja? Perlu diketahui juga. Dan berapa satuan biayanya? Lumpsum atau ada satuan unit costnya?

Memang lazim setiap kegiatan itu ada Pengarah nya. Sejak dulu Bupati itu tetap sebagai Ketua Pengarah, karena fungsi dan tugasnya sebagai Kepala Pemerintahan Daerah. Dan tidak harus setiap Pengarah mendapatkan atau dialokasikan honororium. Apalagi dalam suasana darurat, dan persoalan kemanusiaan.

Seorang Bupati dan Sekda, juga Kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah, dalam sistem pengaturan keuangan baik APBN maupun APBD sudah disediakan belanja operasional untuk menunjang pelaksanaan fungsi dan tugasnya. 

Anggaran itu sebenarnya cukup jika sesuai dengan peruntukannya. Apalagi adanya tunjangan daerah. Kota-kota besar, tunjangan daerah seorang Sekda dan Kepala Sarker / Ka. Dinas Pemda, bisa puluhan sampai  ratusan juta rupiah. Menjadi tidak cukup, jika untuk menambah pundi-pundi keuangan pribadi

Kalau setiap kegiatan, ada pengarah dan mendapatkan honor, apalagi jumlah besar,  sudah dapat dibayangkan tinggal berapa anggaran APBD itu benar-benar untuk kepentingan rakyat, apalagi mereka yang kemalangan keluarganya kena Covid-19 dan meninggal dunia.

Mendagri harus bicara soal ini. Koordinator PPKM wilayah Jawa dan Bali Pak LBP juga harus bicara.  Rakyat menunggu ketegasan Bapak menteri, atas persoalan-persoalan di lapangan seperti kasus di Jember ini.  Jauhkanlah dari pertimbangan politik, tetapi kemanusiaan dan membangun trust rakyat, agar penanganan Covid-19 mendapat dukungan dan partisipasi  yang luas.

Sebagai wujud empati Bapak menteri pada rakyat kecil yang mengalami kesulitan dalam kehidupannya karena kebijakan PPKM Level 4,3,  tetapi mereka sabar dan mengikuti arahan pemerintah, lakukanlah tindakan yang tegas dan mendidik kepada Pejabat Negara yang bekerja tidak dengan hati nurani, tidak dengan rasa kemanusiaan, sebagai efek jera.

Seharusnya para Penyelenggara Negara dengan kelonggaran /fleksibilitas yang diberikan dalam PERPU No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019, menjadi ruang yang cukup luas untuk menanam ladang kebajikan untuk modal akhirat.  Wabah Covid-19 harus dilihat sebagai peluang emas untuk merubah defisit menjadi surplus kebajikan dunia dan akhirat.

Cibubur, 29 Agustus 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun