Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

UU Karantina Kesehatan dan Problem Implementasinya

24 November 2020   00:36 Diperbarui: 24 November 2020   00:38 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanggal 15 April 2020 yang lalu, saya sudah menulis artikel dengan judul"  *Peraturan Pemerintah Amanat UU 6/2018, Yang Belum Lengkap Diterbitkan*"  mengulas bagaimana Kementerian terkait baru menerbitkan 1 PP, dari 5 PP yang diamanatkan dalam UU tersebut. PP yang telah diterbitkan adalah PP 21/2020, sebagai amanat dari pasal 60. Perlu dicatat PP tersebut tidak diterbitkan secara utuh sesuai dengan amanat pasal 60 dimaksud.

Fokus PP 21/2020 hanya mengatur tentang PSBB,  sedangkan amanat pasal 60 mencakup dua dimensi kedaruratan yaitu Karantina (rumah, wilayah dan rumah sakit), serta PSBB. Seharusnya itu satu kesatuan.

Kepolisian mengundang penyelenggara pemerintah daerah DKI jakarta (Gubernur Anies dkk) dan Provinsi Jawa Barat (Gubernur Ridwan Kamil dkk) beberapa hari yang lalu, untuk meminta klarifikasi atas kerumunan yang melanggar PSBB di Petamburan dan Megamendung.  Mengacu pada UU Karantina Kesehatan, karena ada potensi pidana yang diancam dengan pasal 93. Siapa saja yang dapat diancam yaitu mengacu pada pasal 9 ayat (1): _Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan  Kekarantinaan Kesehatan.

Persoalan menjadi rumit dalam menerapkan pasal 9 ayat (1) itu, yang mengacu  pasal 93, karena aturan pelaksanaannya dalam bentuk PP sebagai penjabaran pasal 10,11,14, dan 48 belum ada. Apakah sanksi pidana dimaksudkan pelanggaran karantina saja, atau PSBB atau keduanya. Tidak ada dokumen regulasi yang mengaturnya, sehingga menimbulkan multitafsir dan lemahnya kepastian hukum.

Kalau pelanggaran yang menimbulkan sanksi pidana itu terkait PSBB cerita menjadi lebih rumit lagi. Urutannya kita bisa letakkan sebagai berikut: Dengan terbitkan PP 21/2020 yang parsial terkait PSBB, dijabarkan dalam Permenkes Nomor 9/2020, sebagai bentuk petunjuk operasionalnya. Dalam Permenkes itu PSBB harus diajukan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dengan persyaratan tertentu, terkait penularan virusnya, dan kemampuan dana daerah.

Ternyata sebagian Provinsi, Kabupaten/Kota tidak mengajukan PSBB kepada Menkes,  yang umumnya karena alasan terbatasnya kemampuan keuangan. Bahkan ada yang mengajukan tidak langsung disetujui, diverifikasi dulu, untuk memastikan kemampuan daerah.  Artinya Pemda tidak bisa menerapkan PSBB jika tidak ada persetujuan Pemerintah Pusat (Kemenkes).

Saat ini kasus Covid-19  ada di semua Provinsi, dan hampir semua Kab/Kota, baik yang mendapatkan persetujuan PSBB maupun tidak mengajukan PSBB, pada  umumnya ada kerumunan yang tidak menerapkan prokes, misal di pasar, dan tempat hiburan.

Pertanyaannya bagaimana menerapkan pasal 9 ayat (1) Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan  Kekarantinaan Kesehatan. artinya semua penduduk di semua wilayah Indonesia, dapat dipidana sesuai dengan pasal 93?. Ada kontroversial regulasi disini, yaitu  ada wilayah tidak menerapkan PSBB karena tidak ada persetujuan Kemenkes.  Siapa yang melanggar UU 6/2020, Kemenkes atau Pemda?.

Di satu sisi pemerintah membatasi daerah untuk menerapkan PSBB dengan mengharuskan persyaratan tertentu, sedangkan UU 6/2018, pasal 9 ayat (1) menyebutkan kewajiban mematuhi penyelenggaraan karantina kesehatan  kepada setiap orang diseluruh wilayah Indonesia. Bingungkan?

Hal lain yang juga jadi  polemik  adalah soal penyidikan. Memang dalam pasal 84, disebutkan bahwa selain penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan diberi wewenang khusus sebagai penyidik. Wewenang  PPNS itu ada diatur dalam pasal 85.

Dalam kasus Petamburan dan Megamendung, terlihat PPNS Karantina Kesehatan belum difungsikan. Pertanyaannya kenapa Kepolisian tidak memberikan kesempatan PPNS Karantina Kesehatan untuk melaksanakan tugasnya?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun