Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Rem Darurat Penangkal Kematian

11 September 2020   14:51 Diperbarui: 11 September 2020   14:58 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya tertegun membaca headline berita Koran Tempo hari Kamis 10 September 2020, dengan judul MENUJU AMBRUK. Koran itu mengulas berbagai indikator menunjukkan situasi pandemi terus memburuk. Sistem kesehatan dikhawatirkan tak akan lagi bisa menampung pasien baru. Pemerintah DKI menetapkan kembali pembatasan sosial berskala besar mulai Senin, 14 September mendatang.

Kita kutip apa kata Presiden Jokowi 7 September 2020, " Jangan sampai urusan kesehatan ini belum tertangani dengan baik, kita sudah me-restart ekonomi. Kesehatan tetap nomor satu".

Seolah gayung bersambut, Gubernur Anies 9 September 2020, menyatakan " Dengan melihat kedaruratan ini, maka tidak banyak pilihan bagi Jakarta kecuali menarik rem darurat sesegera mungkin".

Tetapi hari ini, di media elektronik maupun media cetak Anis di Bully politisi-politisi partai politik ( tak usah disebut namanya), yang menyebut langkah Anis tidak tepat. Anis kurang tegas menerapkan disiplin pada masyarakat karena tidak mematuhi protokol kesehatan ( 3 M), tetapi kalangan kesehatan para dokter , profesor ahli epidemiologi mendukung langkah Anis.

Bahkan ada dari Kadin dalam diskusi di TV One (Kamis, 10 Sept.2020)  memberikan ilustrasi yang bagus sekali. Selesaikan dulu akar masalahnya yaitu kesehatan (mengendalikan virus), baru diperbaiki ekonominya. 

Jika akarnya tidak tuntas, bantuan sosial dikucurkan terus untuk menopang ekonomi rakyat, ibarat mengisi kaleng  yang bocor. Berapa banyak diisi air, tidak ada gunanya sebab akan bocor terus. Langkah yang perlu dilakukan adalah menambal ember yang bocor itu, baru diisi air, pasti sebentar saja sudah penuh, dan tidak perlu ditambah air lagi.

Jika semua penyelenggara negara yang bertanggungjawab di negeri ini, sama berfikirnya merujuk pada  ember bocor tadi, tentu akan cepat diselesaikan persoalan pandemi covid-19.

Konkritnya, jika pada awal kejadian di bulan Maret 2020  yang lalu kasus masih sedikit, masyarakat dikurung di rumah khususnya tiga provinsi DKI  Jakarta, Jawa Barat dan Banten, 3 minggu saja. 

Secara simultan 3 T dan 3 M dilakukan, transportasi masa dihentikan, pengawasan diperketat di setiap perbatasan, bansos diberikan tanpa bertele-tele untuk bertahan dirumah, mungkin kita akan sama dengan negara lain yang telah berhasil keluar dari kepungan Covid-19.

Biayanya mungkin tidak sebesar sekarang, yang dikeluarkan pemerintah sudah  ratusan triliun rupiah,  tetapi keberhasilan kita adalah menernak virus sehingga lebih 200 ribu orang terinfeksi, lebih 8.000 orang yang meninggalkan dunia, dan sekita72% dari yang terinfeksi itu berhasil sembuh.

Bukan itu saja yang terjadi. Tenaga medis dokter umum, spesialis, sudah lebih dari 100 orang meninggal dunia. Mereka itu para ahli, terutama ahli paru-paru yang jumlahnya terbatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun