Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Apakah Ada Manfaat Layanan Tambahan Program JHT dalam UU SJSN?

30 Juni 2020   23:23 Diperbarui: 30 Juni 2020   23:40 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Judul diatas dimaksudkan  untuk memberikan pemahaman yang benar tentang bagaimana sebenarnya bangunan UU SJSN, yang mengamanatkan dibentuknya lembaga bernama Dewan Jaminan Sosial nasional (DJSN), sebagai perpanjangan tangan Presiden untuk mengawal sinkronisasi kebijakan penyelenggaraannya, yang melibatkan banyak stakeholder dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang harus dibentuk dengan UU. Untuk itu lahirlah Undang-Undang tentang BPJS, Nomor 24 Tahun 2011.

Dalam UU SJSN, Nomor 40 Tahun 2004, keseluruhannya hanya memuat 53 pasal, dan mengatur prinsip penyelenggaraan 5 program yaitu JKN, JKK, JHT, JP dan JKm. JKN itu terdiri 10 pasal ( terbanyak), JKK ada 6 pasal, dan 3 program lainnya masing-masing 4 pasal. Cukup simpel.

JKN untuk implementasinya, hampir semua dalam bentuk Keputusan Presiden, sedangkan 4 program lainnya, terbanyak dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Kenapa seperti itu, saya juga tidak mengerti, karena tidak ikut terlibat menyusunnya. Keterlibatan saya secara penuh sebagai Ketua DJSN waktu itu, adalah dalam penyusunan RUU BPJS.

Dalam JHT yang hanya 4 pasal itu, dari pasal 35 intinya menekankan, bahwa JHT itu diselenggarakan dengan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib. Dalam implementasinya adalah pada pola skema tabungan wajib. Artinya uang yang dikutip dari iuran masuk dalam account masing-masing peserta, yang dikelola oleh BPJS untuk dikembangkan dengan pola investasi yang pruden.

Pasal itu juga, menegaskan bahwa hak yang diperoleh dalam bentuk uang tunai. Tidak boleh dengan bentuk skema lain, apa berupa barang, saham, atau apapun yang bukan dalam bentuk uang tunai yang berada di tangan peserta.

Pasal berikutnya (pasal 37), ada 3 syarat uang tunai JHT itu dapat diperoleh peserta yaitu jika sudah usia pensiun, meninggal dunia atau cacat total tetap. Diluar kondisi tersebut tentu dana JHT belum boleh diambil.

Berapa besarnya JHT yang diperoleh, angkanya sudah pasti yaitu akumulasi iuran yang sudah ditabungkan ditambah dengan pengembangannya yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Nah, ini yang menarik pada pasal 37 ayat (3) dikutip lengkap: Pembayaran manfaat jaminan hari tua dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun.

Bagi peserta yang sudah mengiur sepuluh tahun, dapat mengambil sebagian sampai batas tertentu

 uang tunai nya, yang dapat digunakan secara bebas untuk kepentingan peserta. Jadi uang tunai yang dimaksud pada pasal 35, dapat diambil sebagian jika sudah mengiur 10 tahun. BPJS Ketenagakerjaan tidak boleh melampaui dari tugasnya yang memberikan uang tunai saja, tidak boleh ada embel-embel lain. Clear and clean.

Untuk ketentuan lebih lanjut, apa yang dimaksud batasan sebagian sampai batas tertentu sebagaimana diatur dalam ayat (3) dan  soal ahli waris jika peserta meninggal dunia sesuai ayat (4), diatur dalam Peraturan Pemerintah. Maka lahir PP Nomor 46 Tahun 2015, Tentang Penyelenggaraan Program JHT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun