Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pasal dan Ayat Menyesatkan pada Permenkes Nomor 3 Tahun 2020

4 Februari 2020   23:50 Diperbarui: 4 Februari 2020   23:56 3340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada pasal 2. Menjelaskan tentang  Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Apa itu pelayanasn kefarmasian, dijelaskan dalam  pasal 3; Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Bayangkan  begitu beratnya tugas tersebut. Apakah pantas disebut sebagai petunjang medik atau non medik apalagi disetarakan dengan pekerjaan binatu/laundry.

Bagaimana hubungan dokter dengan apoteker, dalama pasal 4 diatur bahwa kaitan kerja (kolaborasi) dokter atau dokter gigi, berkaitan dengan resep sebagai permintaan tertulis dokter atau dokter gigi kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku.

Di sini juga cukup jelas apoteker itu harus menyerahkan obat  yang diminta dokter secara tertulis, kepada pasien. Kalau petugas laundry mana pernah berurusan dengan pasien. Urusannya membersihkan sepray dan pakaian kotor pasien. Di sini sudah jelas, apa yang ada dikepala tim penyusun Permenkes 3 Tahun 2020,  yang sudah terobsesi memarginalisasikan pelayanan kefarmasian.

Apa tujuan dibuatnya standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit. dalam Pasal 2 menyebutkan  untuk: a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian; b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian;  Dan c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan  Obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).

apa saja cakupannya, diatur dalam pasal 3  ayat (1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi standar: a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan b. pelayanan farmasi klinik.

Kita lihat ayat  (3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) huruf b meliputi: a. pengkajian dan pelayanan Resep; b. penelusuran riwayat penggunaan Obat; c. rekonsiliasi Obat; d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);  e. konseling;  f. visite; g. Pemantauan Terapi Obat (PTO); h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO); i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO); j. dispensing sediaan steril; dan k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).

Soal dispensing sediaan steril memang terbatas tertera pada ayat (4) Pelayanan farmasi klinik berupa dispensing sediaan steril sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf j hanya dapat dilakukan oleh Rumah Sakit yang mempunyai sarana untuk melakukan produksi sediaan steril.

Sekarang ini sudah banyak apoteker yang mempunyai keahlian farmasi klinik yang dihasilkan perguruan tinggi farmasi, dan sebagai tenaga handal dalam bekerjasama dengan dokter, menangani pasien, melakukan visite, penelusuran penggunaan obat, rekonsiliasi obat, dan pemantauan terapi obat, agar pasien mendapat therapi yang tepat dan bermutu.  Sekali lagi apakah standar pekerjaan apoteker tersebut  tepat disebut penunjang medik apalagi non medik yang disejajarkan dengan binatu/laundry.

Permenkes 72 tahun 2016  yang diberikan tanggungjawab untuk mengawal implementasinya  adalah Direktur Jenderal Yanfar  dan Alat Kesehatan  serta Kepala BPOM. Apakah kedua pejabat tersebut terlibat dalam penyusunan Permenkes No. 3 tahun 2020, atau tidak, perlu dicari informasi lebih lanjut. Jika terlibat maka sudah dapat diduga adanya konspirasi jahat  untuk mereduksi peran apoteker di rumah sakit. hal tersebut merupakan malapetaka bagi profesi apoteker, karena Dirjen Yanfar dan Ales itu seorang apoteker. Jika tidak terlibat, maka ada kewajiban fungsional jabatan dan tanggung jawab profesi untuk berjuang menganulir pasal 10 dan pasal 14 Permenkes 3/2020.

Pada bagian akhir tulisan ini, mari kita coba bandingkan substansi  Permenkes Nomor 30 tahun 2019  yang sudah dicabut dan diganti dengan Permenkes Nomor 3 Tahun 2020  tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, terkait pelayanan kefarmasian.

Pada pasal 7  ayat  (2) menyebutkan; Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Rumah Sakit umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas: a. pelayanan medik; b. pelayanan keperawatan dan kebidanan; c. pelayanan penunjang medik; dan d. pelayanan penunjang nonmedik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun