Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Warning KPK terhadap Menteri PAN RB dan PT Taspen

4 Agustus 2019   17:37 Diperbarui: 4 Agustus 2019   20:23 1161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mari kita rehat sejenak  memikirkan defisit DJS Program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Dan mengalihkan perhatian kita pada BPJS Ketenagakerjaan yang juga bukan tidak ada persoalan yang menimpa BPJS tersebut.

Mulai dari soal JHT yang tak kunjung tuntas, terkait pengambilan dana JHT oleh pekerja walaupun baru sebulan bekerja kena PHK, yang menurut UU SJSN minimal 10 tahun masa iur baru dapat dipinjamkan sebagian kepada peserta. PP 60 dan Permenaker 19/2015  tidak kunjung dicabut, padahal jelas-jelas bertentangan dengan UU SJSN.

Persoalan Jaminan Pensiun yang terkait dengan usia pensiun dan besaran iuran sesuai PP 45/2015,  juga sampai saat ini masih menjadi persoalan yang berdampak pada kepentingan pekerja dan perusahaan.

Usia pensiun yang ditetapkan pertama kali adalah 56 tahun, dan mulai 1 Januari 2019, menjadi 57 tahun, dan setiap 3 tahun usia pensiun bertambah 1 tahun, sampai usia 65 tahun. Padahal saat ini perusahaan masih menetapkan usia pensiun 55 tahun.

Terkait iuran pensiun yang 3%, adanya potensi unfunded dalam waktu 15 -- 20 tahun mendatang, perlu dikaji cermat dari sekarang. Jangan sampai BPJS Ketenagakerjaan gagal bayar pensiun tahun 2035,  seperti defisit DJS JKN, yang ujungnya menjadi beban pemerintah.

Persoalan JKK dan JKm juga masih belum selesai. Ada keinginan pihak BPJS Ketenagakerjaan untuk menaikkan/meningkatkan manfaat JKK dan JKm harus merubah PP 44/2015. Konsep perubahan sudah final, konon kabarnya sudah tinggal persetujuan antar menteri terkait. Nah disini persoalannya, sudah berbulan-bulan approval menteri tidak ada beritanya. Kasihan BPJS Ketenagakerjaan sudah lemas lunglai menghadapi tembok birokrasi yang luar biasa.

Persoalan yang paling anyar saat ini, adalah tajamnya gesekan BPJS Ketenagakerjaan yang di beking oleh UU SJSN dan UU BPJS, dengan PT.Taspen yang dibeking oleh beberapa Kementerian dengan mengandalkan  PP yang tidak punya landasan berpijak UU yang terkait.

Persoalan tersebut rupanya masuk dalam radar KPK. Saya mendapatkan copy dokumen Surat KPK kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, tertanggal 17 Juli 2019, Tentang; Hasil Kajian KPK terkait Kebijakan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

Secara runtut KPK sudah mengkonstruksikan aspek hukumnya, terkait Jaminan Sosial, mulai dari UU SJSN, UU BPJS, UU ASN, dan terbitnya PP 70 tahun 2015, yang secara eksplisit menunjuk PT.Taspen sebagai penyelenggara JKK, dan JKm untuk ASN, dengan besaran iuran 0,30% ( sama besarnya dengan iuran JKK, JKm BPJS Ketenagakerjaan) , dan kemudian naik menjadi 0,72% sesuai dengan PP 66 tahun 2017, dengan peningkatan manfaat beasiswa yang semula maksimal untuk 1 anak, menjadi maksimal 2 anak.

Selanjutnya pada tahun 2018 terbitlah PP 49 Tahun 2018, Jaminan Sosial bagi Non ASN ( diluar PNS dan PPPK) yang di gadang-gadang  akan dilaksanakan oleh PT.Taspen dan pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan Menteri PAN-RB. ( Pasal 99 ayat (4)

Apa yang menarik dari kajian KPK tersebut, dengan dasar latar belakang yang diutarakan diatas. Ada tiga poin penting:

  1. Pengelolaan Jaminan Sosial sesuai dengan SJSN bersifat nirlaba dan hasil pengelolaannya seluruhnya digunakan untuk pengembangan program dan kepentingan peserta.  Dan keempat program JKK,JKm,JHT, dan JP, diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Pentahapan dan jangka waktunya sesuai dengan Perpres 109/2013, khusus untuk JKK dan JKm paling lambat 1 Juli 2015.
  2. KPK mengkaji bahwa tarif/iuran JKm PT.Taspen lebih tinggi ( 0,72%) dibandingkan dengan BPJS Ketenagakerjaan (0,30%). KPK menghitung ada potensi inefisiensi berupa kemahalan sedikitnya Rp. 775 Miliar per tahun. Jumlah ini merupakan selisih pembayaran tarif jaminan sosial yang menjadi beban APBN/APBD jaminan sosial ASN ( kemahalan Rp. 529 Miliar sebagaimana terjadi saat ini), dan non-ASN (potensi kemahalan Rp 246 Miliar, bila ditetapkan akan dikelola oleh PT.Taspen). dasar perhitungan adalah gaji pokok terendah.
  3. BPJS Ketenagakerjaan sudah mengelola 2 juta peserta JKK,JKm bagi non ASN. Ada 1 juta lagi belum mendapatkan jaminan sosial JKK dan JKm, karena keraguan pemerintah daerah atas pengelolaannya. Disamping itu ada 50 ribu peserta sudah mendaftar, namun pembayaran ke BPJS Ketenagkerjaan ditunda oleh Pemda, dampaknya mereka itu tidak mendapatkan jaminan sosial sesuai dengan haknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun