Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tanggung Jawab Renteng, Jalan Keluar Atasi Defisit BPJS Kesehatan

30 Mei 2019   20:28 Diperbarui: 31 Mei 2019   00:39 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Saya sebenarnya sudah jenuh  menulis artikel tentang Defisit  DJS  BPJS Kesehatan.  Karena sudah berbagai skenario penyelesaian untuk mengatasi defisit DJS BPJS Kesehatan disampaikan kepada Pemerintah, bahkan menjadi substansi penting dalam debat Paslon 01 dan 02 di media televisi, sampai saat ini  belum ada solusi yang konkrit.

Pemerintah masih menyelesaikan secara konvensional, dengan mengambil dana yang tidak mengganggu APBN, yaitu melalui pajak rokok.  Untuk tahun 2018, telah diluncurkan dana sebesar lebih Rp. 10 triliun untuk membayar FKTL  yang tertunggak 4 s/d 6 bulan.

Berkembang isu di Media Sosial, rumah-sakit yang finansialnya terbatas, owners nya menyerah dan menjual RS nya pada pihak lain yang berminat. Tentu  yang membelinya mereka yang punya modal kuat, bahkan ada yang mengkhawatirkan dibeli oleh pihak asing dan aseng.

Sejak Februari 2019, teriakan FKTL (RS)  sudah mulai mereda. Karena tunggakan klaim RS sudah mulai dibayar. Walapun pembayarannya tidak penuh. Tunggakan 6 bulan misalnya, dibayarkan 4 bulan, masih tersisa 2 bulan. Jadi rata-rata masih tersisa tunggakan sekitar 2 bulan.

Untuk semester I Tahun 2019, BPJS Kesehatan, agak lega, karena ada dana segar PBI untuk tahun 2019 sebesar Rp. 26,7 triliun, untuk cakupan 96,8 juta orang miskin.

Persoalan cakupan 96,8 juta orang miskin penerima PBI, dengan menggunakan kartu KIS dan alokasi dana sebesar Rp. 26,7 triliun, atau setara dengan iuran Rp. 23 ribu/POPB, untuk 12 bulan,  dipersoalkan oleh Prof Laksono, Dosen FK UGM. Dari hasil kajiannya dengan pendekatan segmentatif,  ternyata tidak semua mereka orang miskin itu memanfaatkan JKN  dengan beberapa sebab. Antara lain :

  • Mereka tidak tahu sebagai peserta JKN, karena tidak memegang kartu KIS,  sehingga tidak mendapatkan pelayanan di Puskesmas sebagai peserta JKN-KIS.

  • Mereka yang sangat miskin dan tidak mampu, banyak tinggal di pelosok-pelosok terpencil, sehingga tidak mendapatkan akses untuk pelayanan kesehatan, walaupun ada kartu JKN-KIS.

Dengan masih belum optimalnya utilisasi pemanfaatan JKN-KIS oleh orang miskin dan tidak mampu yang  antara lain disebabkan kedua  hal  diatas, Prof laksono berpendapat, kelebihan dana PBI digunakan oleh para Non PBI, yaitu mereka yang mampu membayar.

Pendekatan segmentatif tersebut, yang tidak  ada dalam prinsip SJSN dan BPJS sesuai dengan UU, menimbulkan perdebatan yang menarik dikalangan para pakar Jaminan Sosial.  Terlihat pejabat Pemerintah yaitu Kemenkeu, agak terperanguh dengan kajian Prof.Laksono tersebut. Tetapi okelah, hal tersebut akan kita bahas dalam artikel berikut.

 

Tanggung jawab renteng stakeholder

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memberikan tanggapan terhadap isu defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ia mengaku keberatan jika beban defisit langsung dibebankan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun