Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tata Kelola Obat dalam Sorotan KPK

1 Februari 2019   01:20 Diperbarui: 1 Februari 2019   13:32 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Di samping itu data RKO belum tersambung dengan e-catalogue sehingga Faskes yang tidak menyampaikan RKO tetap dapat belanja dan/atau sebaliknya. Implikasinya yang banyak dikeluhkan sekarang ini adalah kekosongan obat dan disisi lain kelebihan stok obat dan tentunya dapat menimbulkan kerugian bagi industri farmasi. Pada tahun 2016 sudah e-monev untuk mengatasi ketidakakuratan RKO tetapi lemah di sosialisasi dan penggunaannya belum optimal.

Dalam persoalan ini KPK telah menyarankan agar mekanisme  penyusunan RKO dan validasinya sehingga menjadi data yang akurat. Monev dioptimalkan dan harus ada follow-upnya yang terukur. Dan harus tegas mengeluarkan aturan dan konsisten bahwa akses belanja obat di e-catalogue hanya untuk Satker/Faskes yang menyampaikan RKO. Dan juga penting e-monev yang dibuat Kemenkes harus diintegrasikan dengan e --catalogue sehingga data RKO dan realisasi belanja dapat terhubungkan.

Keempat; Mekanisme pengadaan obat melalui e-catalogue belum optimal. Terjadinya keterlambatan dan kegagalan lelang obat oleh LKPP tahun 2016, dan e-catalogue baru dapat diakses Satker pada bulan April. Lemahnya aplikasi e-catalogue; tidak ada notifikasi status pemesanan dan informasi stok barang, sulit di akses pada siang hari. 

Faskes swasta provider tidak diberi akses e-catalogue secara online. Belum dilakukan penerapan sanksi bag Industri Farmasi penyedia obat yang wanprestasi, karena tidak ada juga jaminan produksi obatnya dijamin laku dibeli Faskes. Akibatnya antara lain, persentase belanja obat Faskes di e-catalogue kurang dari 70%. Tingkat kepatuhan Industri farmasi penyedia obat rendah.

KPK sudah menyarankan kepada LKPP, agar melakukan proses lelang obat-obat yang akan masuk e-catalogue , sebelum tahun berjalan sehingga e-catalogue dapat diakses pada awal tahun berjalan. Aplikasi e-catalogue diperbaiki (menjadi user friendly memberikan informasi stok, pemberian akses kepada provider JKN). Dan menerbitkan aturan memberikan sanksi kepada Industri farmasi untuk efek jera dan menerapkannya secara konsisten.

Kelima; Ketidaksesuaian daftar obat pada PPK ( Panduan Praktik Klinis) FKTP dengan FORNAS FKTP. Terdapat ketidaksesuaian daftar obat yang ada pada PPK FKTP yang berdasarkan PMK No.5/2014, dengan Fornas pada FKTP berdasarkan KMK 137/2016.

Akibatnya adalah ketidakjelasan panduan (rancu) yang menjadi acuan Dinkes dan Puskesmas dalam melaksanakan perencanaan, pengadaan dan penggunaan obat.  Kenapa ini bisa terjadi. Jawabannya sederhana saja yaitu lemahnya koordinasi, sinkronisasi dan komunikasi antara unit eselon 1 dilingkungan Kemenkes, dan lemahnya Biro Hukor melaksanakan harmonisasi produk-produk PMK dan KMK yang saling terkait.

Keenam; Belum ada  aturan minimal  kesesuaian FORNAS pada Formularium RS/Daerah. Belum adanya aturan yang mengatur minimal kesesuaian Fornas pada formularium RS/formularium daerah. Saat ini baru ada Perdirjen BUK No.HK.02.03/I/2318/2015 yang mengatur KPI (Key  Performance Indicator), penggunaan Fornas ( diatas 80%), untuk RS vertikal Kementerian Kesehatan. 

Saat ini Kemenkes baru mengatur pelaporan kesesuaian penggunaan Fornas ke Kemenkes berdasarkan KMK  524/2015, namun pada tahun 2015 itu juga, Dit.Yanfar baru berhasil mengumpulkan laporan dari 100 Dinkes dan 116 RS. Tentu hal tersebut berakibat pada penggunaan obat diluar Fornas pada Formularium RS/Formularium Daerah  tidak dapat dikendalikan sehingga berpotensi menimbulkan gratifikasi dari Industri farmasi, dan tidak terjadi upaya kendali biaya dan kendali mutu di Faskes.

Saran KPK  cukup bagus dan tidak sulit dilaksanakan jika ada keinginan. Yaitu buat aturan terkait minimal kesesuaian Fornas pada Formularium RS/ Formularium Daerah. Masukkan persentase kesesuaian Fornas dalam Formularium RS  menjadi syarat akreditasi RS. Dan bantu Daerah untuk membuat Panduan Penyusunan Formularium RS.

Ketujuh; Belum optimalnya Monev terkait pengadaan obat. Ternyata KPK menemukan belum di datanya item obat Fornas yang tidak masuk ke e-catalogue oleh kemenkes. Belum juga di datanya realisasi belanja obat yang lengkap dan akurat oleh Kemenkes. Dan belum semua Industri farmasi penyedia e-catalogue melaporkan realisasi pemenuhan komitmen (online dan offline) sesuai PMK 63/2014 kepada Kemenkes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun