Mohon tunggu...
Sirilus
Sirilus Mohon Tunggu... Guru - pencinta budaya terutama budaya Manggarai dan filsafat. Juga ingin studi antropologi.

Saya ingin mengajak kaum muda untuk melestarikan budaya kita. Ini adalah harta kekayaan kita yang berharga. Saya juga peduli dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat. Untuk itu subscribe chanel youtube saya :motivasi hidup . Chanel ini berisi musikalisasi puisi dan video mengenai budaya dan daerah wisata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengembala Menjadi Pemimpin

24 September 2018   22:06 Diperbarui: 24 September 2018   22:26 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia bangun awal untuk menyambut pagi, lebih awal dari matahari. Langkah kakinya lebih cepat dari serigala, matanya tajam menyerupai kelalawar. Dia mampu berlari-lari di saat gelap belum berlalu. Mungkinkah dia bukan manusia? Ayam berkokok karena mendengar desingan kakinya, anjing mengonggong sebab dia membunyikan gelas untuk mengaduk secangkir kopi.

Dia ini sahabat alam, seorang yang mengerti harapan dari sapi-sapi gembalaannya. Dalam benaknya bahwa dia harus menjadi pertama yang menyapa alam, inilah juga yang pertama dijumpainya setiap hari yaitu segerombolan sapi yang sedang menanti kedatangannya. Dia tidak memiliki jam untuk melihat durasi waktu, yang dimilkinya hanyalah alam, dia pun pandai membaca tanda-tanda alam. Melihat aksi sapi-sapi menikmati sarapan pagi, membawa kebahagian tersendiri baginya. Seolah-olah dia tidak perlu sarapan lagi, jiwanya sudah dipuaskan.

Saat matahari semakin terang menunjukan pesona, dia mengetahui bahwa dia harus segera meninggalkan sapi-sapinya dan segera bergegas menuju sekolah. Mencari kepuasan intelektualnya. Bagi anak-anak kota dan anak-anak yang intelektual tinggi, pagi-pagi ke alam hanya untuk memenuhi kebutuhan sapi adalah aneh. Di saat tubuh membutuhkan kehangatan untuk dililiti oleh sehelai kain selimut. Apalagi, melihat dia berbicara dengan sapi yang konyol, bodoh, tak berakal budi dan bau. Akan tetapi, baginya ini sebuah kepuasan batin. Merangkul yang tidak pantas untuk dirangkul, yang tak ada apa-apanya dimata orang lain, justru sumber sukacita baginya. Kata- kata olokan temannya itu bukan menjadi penghalang dalam pengejaran  impiannya, melainkan motivator yang membuat dia terus berjuang.

Waktu itu indah ketika menikmati, burung-burung tetap berdangsa diangkasa di siang maupun malam. Tidak pernah memarahi waktu, inilah saat aku haru s berjuang, maju dengan mempertaruhkan nyawa sekalipun, katanya. Maka, setelah lulusan sekolah dasar dia meminta ijin kepada orangtua untuk merantau, meninggalkan mereka. walaupun dia tidak tahu kemana dia harus pergi, bagaimana kehidupan di tempat baru, dia tetap optimis untuk pergi. Ayah dan ibunya dengan berat hati untuk melepas kepergian anak semata wayang mereka. dengan berhujankan air mata, seolah-olah tidak percaya akan ucapan anak mereka.

Diiringan doa ayah dan ibunya, bermodalkan pakaian pada tubuhnya, dan sandal jepit ganjil dikaki dia berlahan-lahan pergi, sedikit demi sedikit bayangannya hilang dari pandangan orantuanya, begitupun sebalik.  Mungkin tubuhnya sudah kebal seperti sapi binatang peliharaannya yang tidak berganti kostum tubuh.

Tidak ada seorang pun yang dia kenal, tetapi dia tidak mau gugur seperti daun kering, munkin ini planet lain yang dibicarakan pak guru, pikirnya. Menyeberangpun dia tidak mampu, karena dia tidak memiliki sayap. Di tengah kebingunggan dan kelaparan dia menawarkan jasanya kepada seorang bapak yang bertubuh gagh, berdasi dan sangat berwibawa. Pak...boleh aku melap sepatu bapak? Ah, dengan apa kau membersihkannya, dengan tanganmu yang kotor, mana munkin sepatuku akan bersih, seru bapak itu!

Apakah alam di sini tidak bersahabat denganku, ataukah mereka lupa denganku, oh, Tuhan apa yang harus aku lakukan,aku lapar, katanya dalam hati. Kata-kata akan bermakna apabila diucapkan dari lubuk hati dan dengan kepedihan, dia meniru gaya sapi peliharaannya memohon, dengan tanpa berbicara dan berteriak. Kilauan cahaya memancar di matanya, di pertengahan jaln dia melihat bapak tadi sedang menyeberang, mobil dari arah timur dengan kelajuan yang tinggi, dengan cepat dia berlari mendorong bapk itu. Bapak itu pun selamat dari maut.

Peristiwa ini membawa berkah bagi dia, Tuhan pasti sudah negabulkan doanya. Bapak itu merangkulnya, membawa ke sebuah restoran dan membelikan celana dan pakaian baru untuknya. Dialog yang cukup panjang terjadi antara mereka. dia tidak lagi sendiri, ada teman baru dalam kehidupannya di planet baru.

Berpuluhan tahun dia pergi da berpisah dengan kedua orangtuanya. Ayah dan ibunya berpikir bahwa dia sudah meninggal, untuk itu mereka melakukan ritual adat untuk orang yang meninggal. Sebagai rasa penyesalan atas ijin kepergiannya untuk merantau. Tidak di sangka-sangka ada segerombolan mobil menghampiri rumah yang tua, atapnya bocor dan berdindingkan dedaunan kelapa. Ayah dan ibunya kaget tak percaya dengan kenyataan anaknya sudah menjadi seperti ini. teman-teman yang dulu mengolok-olok dia kini menjadi pengembala sapi. Dunia mungkin berkisah terbalik, dia sudah memiliki  banyak perusahan, memimpin banyak orang. Bukan lagi memimpin yang tak berakal tetapi memimpin yang berakal untuk semakin berakal.

Charlyto duhar

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun