Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Religio Tanpa Religiositas

30 September 2015   15:29 Diperbarui: 30 September 2015   16:01 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika aneka persoalan berbau agama (Latin: religio) mengemuka, satu pertanyaan spontan tapi niscaya muncul: masih relevankah agama itu? Ada dua kemungkinan jawaban bisa diberikan. Pertama, ada jawaban negatif bernada pesimis mengingat rantai anarki, vandalisme, sabotase (pemalakkan) dan spionase (pengintaian) antarumat beragama belum lagi berujung (bdk. Hidup, No.36 Tahun ke-64, 5 Sept.2010, hal. 37).

Agama sepertinya terlalu banyak memakan korban dan menuntut biaya kemanusiaan yang tidak sedikit. Mempertahankan kedudukan sebuah agama dengan tangan besi dan mendudukannya di atas puing-puing reruntuhan tempat ibadah dan nyawa sesama yang berbeda agama dan kepercayaan sepertinya hampir lumrah, sementara mimpi kedamaian dan ketenangan masih terus dicari tanpa henti dalam gelapnya rimba-raya dunia masa kini. Bayang-bayang sekularisasi bisa saja menangkup segenap dambaan para pencari kedamaian dan ketenangan yang hampir jera berbicara tentang kebajikan agama yang tak kunjung  terwujud.

Kedua, sekalipun tindak-tanduk segelintir pemeluk medatangkan kecemasan dan pesimisme terhadap relevansi sebuah agama, tokh tidak berarti bahwa riwayat agama tertentu telah berakhir dalam genggaman tangan-tangan yang berlumuran darah dan berbau kekerasan. Masa depan sebuah agama tidak ditakar dari tingkat penghayatan lahiriah sejumlah pihak karena tidak sedikit orang beragama yang masih tekun berkiprah di tengah dunia dan berkanjang dengan nilai-nilai luhur agamanya.

Perihidup para pemeluk teguh yang masih setia menghayati keberagamaannya di tengah pluralitas agama dan kepercayaan membuncahkan optimisme bagi tetap berkibarnya panji keagamaan. Tali solidaritas dan keberpihakan kepada sesama masih tetap terjulur dari pribadi ke pribadi termasuk mereka yang mengaku diri tidak beragama tetapi memancarkan kebajikan sebagaimana yang menjadi fitrah setiap agama. Maka ikhwal relevansi dan irelevansinya tidak dapat dikonklusi dari sebuah generalisasi atas perihidup tak terpuji segelintir pihak.

Terhadap jawaban bipolar itu, kita perlu mencari sebuah ordinat yang memungkinkan kita berbicara tentang masa depan agama dan agama masa depan. Entahkah agama masih patut dipertahankan atau tidak tergantung dari bagaimana kita menemukan titik persoalan itu dan darinya kita merancang-bangun sebuah model agama yang patut dihidupi di masa mendatang.  

Religio tanpa Religiositas

Karakter setiap manusia yang terbatas senantiasa mendorongnya untuk terbuka dan menemukan pemenuhan keterbatasannya pada apa yang tak terbatas. Fakta fundamental dan eksistensial ini melecuti manusia untuk berjalan menemui titik tak terbatas itu yang secara religius disebut Allah. Proses perjalanan itu terjadi dalam sebuah relasi yang intim berdasarkan riak getaran hati nurani pribadi. Ia bersifat personal dan dihayati dalam cita rasa individual sesuai dengan kedalaman pribadinya. Karena itu ia sedikit banyak menyisahkan misteri bagi orang lain (Mangunwijaya, 1982: 11). Inilah yang disebut dengan religiositas.

Inti kepercayaan atau religiositas ini kemudian atas berbagai cara dan kepentingan dilembagakan dan diinstitusionalisasi dalam religio atau agama. Dalam bentuk agama sekarang, paling kurang religiositas itu diformulasi dalam dogma dan doktrin (ajaran), dirayakan dalam ibadat atau kultus, dihayati dalam moral (etika) dan diorganisir dalam lembaga atau organisasi (Hardjana, 2005: 51). Rumusan tentang hakikat Allah yang dikenal dan diimani digariskan dalam butir-butir dogma. Laku hubungan manusia dengan Allah dalam cara, bentuk dan waktu tertentu ditetapkan dalam ibadat. Moral menjadi pedoman bertingkahlaku dalam hidup dan relasinya dengan sesama sebagai cerminan dari kehendak Allah. Sementara hubungan antarpenganut dan dengan pimpinan agama diatur layaknya dalam sebuah lembaga atau organisasi. Pada gilirannya diharapkan para penganut mendapat penjelasan tentang hakikat dan kehendak Allah yang membantunya menemukan makna dan orientasi hidup. Singkat kata, agama diikhtiarkan untuk sungguh-sungguh menerjemahkan religiositas seseorang dan menjadikannya sebagai seorang beragama.

 Jika saja agama adalah pelembagaan sebuah religiositas, apakah itu cukup akomodatif untuk menyalurkan intipati kepercayaan seseorang? Apakah huruf-huruf hukum, deretan aturan dan tata cara beribadat, berikut rumusan garis relasi dalam organisasi keagamaan itu amat ampuh menjamin sebuah penghayatan religiositas yang otentik?

Dalam banyak kasus, praktik keberagamaan jauh panggang dari panggilan religiositas. Yang dihayati dalam hidup harian berbeda dengan apa yang menjadi fitrah setiap agama. Dengan kata lain materialisasi atas religiositas itu dapat saja dijadikan alibi untuk sebuah penghayatan keagamaan yang palsu. Di sinilah letak problematika keberagamaan seseorang yang berbuntut pada pertanyaan seputar relevansi dan irelevansi agama.

Betapa tidak. Pertama, dalam kaitan dengan dogma. Rumusan tentang Allah dan kehendak-Nya tidak banyak berbeda dari rumusan ideologi atau aliran-aliran tertentu. Kata-kata tercetak dan rumusan-rumusan indah sama sekali dipisahkan dari inti dogma yang hendak dihidupi dan menjadi layaknya ideologi atau ajaran yang sama sekali terlepas dari Allah, yang dari dan karena-Nya dogma itu dibuat. Karena itu yang dikejar bukanlah pemenuhan dan penghayatan yang sadar dalam hidup harian tetapi pengkultusan atas kata-kata tertulis. Formulasi itu dianggap telah final dan sempurna. Ia tidak boleh diganggu-gugat. Yang tertulis itulah yang paling benar karena itu menuntut pemaknaan tanpa kompromi. Tidak boleh membaca secara lain selain sebagaimana yang tertulis dan terangkai dari huruf-huruf hukum itu. Bahwasannya ia dianggap final dan sempurna inilah yang mendorong penganutnya terpeleset dalam kesombongan agama dan dogmatisme. Agama tertentu dianggap paling benar dan dogma atau ajarannya adalah perwujudan kehendak Allah yang paling tepat. Lantas, klaim superioritas satu agama dan satu dogma ini menjadi benih bagi tumbuhnya intoleransi, fundamentalisme, syak-wasangka, pluralisme phobia, bahkan permusuhan antaragama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun