Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merangkul Generasi yang Memunggungi Cabai Rawit

18 Januari 2017   11:06 Diperbarui: 18 Januari 2017   14:24 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cabai rawit/KOMPAS/DAHLIA IRAWATI

Indonesia mendapat kado pahit di awal tahun dengan meroketnya harga cabai, khususnya cabai rawit merah. Tidak hanya di Ibu Kota Jakarta yang bergantung pada pasokan dari luar, di beberapa daerah di luar Jawa, seperti Kalimantan harga bahkan melambung tinggi. Di Segiri, Samarinda, Kalimantan Timur misalnya, produk yang oleh masyarakat setempat disebut cabai rawit tiung ini pernah menginjak Rp 200.000 per kilogram (kg). 

Sebagai bangsa yang doyan rasa pedas, kenaikan ini langsung menimbulkan kasak kusuk. Resah dan gelisah di kalangan konsumen coba diteduhkan pemerintah. Seperti dikatakan Presiden Joko Widodo kenaikan tersebut tersebab kondisi pertanian cabai pada 2016 kurang bagus. Curah hujan yang tinggi membuat banyak cabai yang busuk dan tidak sedikit terjadi puso atau gagal panen. Minimnya persediaan (supply) tidak bisa mengimbangi permintaan (demand) maka konsekuensi kenaikan harga itu tak terhindarkan. 

Entah apa sebab utama, bagaimana penyelesaiannya dan seperti apa kondisi terkini, situasi ini tidak bisa tidak memunculkan tanya mendasar. Rasa miris mengemuka lantaran kondisi ini terjadi pada bangsa agraris. Bagaimana kondisi beberapa tahun ke depan ketika lahan pertanian semakin sempit, tergusur oleh laju pembangungunan yang masif dan para petani sudah berganti generasi?

Passion Generasi Y

Bila kita menengok ke desa-desa dan area pertanian sebagian besar berisi generasi X atau baby boomersdan generasi sebelum itu, generasi GI atau greatest generation.Ada juga mereka yang masuk dalam generasi seperti saya yakni generasi Y atau generasi milenial, yakni yang lahir pada rentang akhir 1970-an hingga pertengahan 1990-an, tetapi tidak signifikan.

Saat mengunjungi sejumlah kota di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa, juga saat liburan kembali ke kampung halaman, sedikit ditemui kaum muda yang masih mau berkutat di dunia pertanian, termasuk di dalamnya peternakan, kehutanan, serta perikanan.

Saya termasuk dalam gerbong besar lainnya. Sejak lulus perguruan tinggi di Flores, NTT langkah kehidupan saya ayunkan ke ibu kota, alih-alih kembali ke kampung halaman menceburkan diri di dunia pertanian. Di ibu kota saya pun memilih bidang kerja yang tidak bersentuhan dengan tanah dan tumbuhan, seperti halnya orang kebanyakan.

Apakah sayamemilih menjadi perantau dengan penuh kebebasan atau tersandaera pada kepentingan dan motif tertentu? Jawaban untuk hal ini bisa mengular panjang. Setidaknya, apakah pekerjaan yang saya jalani saat ini sanggup mendatangkan kepuasan dan kebahagiaan? Dengan kata lain, saya bebas dan bahagia menjalaninya? Menilik kondisi saya saat ini jawaban tentu ya. Lantas apa yang bisa dikatakan tentang ini?

Tidak usah terlalu panjang menarik hingga pemilik era sekarang, generasi Z (gZ atau iGeneration atau Homeland Generation) yang sudah jelas seperti apa kehidupan dan orientasi mereka saat ini Saya dan generasi Y lainnya jelas memiliki karakteristik yang berbeda dibanding generasi-generasi lainnya.

Seperti dikatakan Aldyon Restu Azkarahman dalam opininya di Kompas,18 Oktober 2016, hal.7, generasi Y dikenal lebih ambisius, berkespektasi tinggi, dan ingin serba cepat. Lahir dan tumbuh di tengah perkembangan teknologi dan akses informasi yang cepat dan tak terbatas, adalah faktor penyebab.

Hal ini pun berpengaruh pada passion,konsep abstrak yang bisa dipahami sebagai hasrat atau keinginan, sebagai pertimbangan utama dalam menjalani hidup dan meniti jenjang karir. Lingkungan dan orang tua bukan lagi faktor utama dalam penentuan karir sehingga lumrah ditemukan generasi Y mengambil jalur karir berbeda dengan orang tuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun