Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Idul Adha: Berkurban dengan Mata Terbuka

24 September 2015   01:50 Diperbarui: 24 September 2015   01:50 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mengguratkan tulisan ini ketika rekan-rekan kerja satu per satu mulai meninggalkan kantor. Sudah larut malam. Maklum kami bukan orang kantoran dalam arti biasanya. Memiliki gedung kantor, tapi seperti tak memiliki waktu.

“Besok teman-teman ada Lebaran Idul Adha…”, terang salah satu teman beberapa hari sebelumnya.

Tanpa diberi tahu pun saya sudah tahu kalau hari ini, 24 September kaum muslim merayakan Hari Raya Idul Adha. Apalagi sejak beberapa waktu sebelumnya, di pinggiran-pinggiran jalan sudah muncul kandang-kandang dadakan yang berisi kambing, domba bahkan sapi beraneka ukuran. Saat saya melintas di larut malam pun, kandang-kandang dadakan itu masih memancarkan terang, kontras dengan lingkungan sekitar yang sudah tenggelam dalam lelap.

Aroma khas hewan-hewan tersebut sudah tercium jauh sebelum hari H. Tak hanya itu, aneka selebaran, promosi offline dan online yang menawarkan paket hewan kurban, bahkan spanduk raksasa di sejumlah sudut jalan sudah terpampang dengan berbagai seruan bijak. ‘Yuk, Belajar Berkurban Sejak Dini; “Di Setiap Helai-helai Bulunya Terdapat Pahala’, dan masih banyak seruan bijak lainnya. Dalam hati kecil saya hanya bisa gergumam, “kok berkurban harus diajak? Kalau diajak kan bukan lagi namanya berkurban, bukan?”

Seimbang

Terlepas dari beragam penfsiran dan referensi etimologis dan arti teologis Idul Adha, saya tertarik dengan dua kata kunci. Pertama, qurban yang diambil dari bahawa Arab Qarib yang berarti dekat. Secara teologis dekat yang dimaksud adalah dekat dengan Allah.

Allah menjadi titik berangkat sekaligus titik tuju. Manusia mendekatkan diri tidak untuk menjadi setara dengan Allah tetapi untuk belajar bagaimana Allah bersikap. Dalam hal ini belajar bagaimana Allah memberi diri secara total seperti kerelaan Nabi Ibrahim mengorbankan putranya Ismail atau dalam teologi Katolik, Abraham mempersembahkan Ishak.

Namun dekat dengan Allah saja tidak cukup. Kata kedua, qurban yang berarti hewan sembelihan, hemat saya menempatkan perayaan itu pada titik kesetimbangan.  Dimensi vertikal yang diseimbangkan dengan dimensi horizontal.

Hewan kurban menjadi representasi persembahan total dan tak bercela kepada Allah. Namun hewan kurban tak bercacat dan dibagi-bagikan menjadi perwujudan dari dimensi horizontal itu. Semangat berbagi terlebih dengan yang berkekurangan, saling memberi satu sama lain. Dekat dengan yang di atas, sekaligus karib dengan yang berada di sekitar. Apa artinya setia dan dekat dengan Allah, kalau kita jauh dengan sesama?

Mata terbuka

Sebagaimana setiap hari raya keagamaan, pertanyaan lanjutan: apakah berkurban hanya berhenti pada Idul Adha? Apakah kita berkurban hanya untuk sekedar menjalankan perintah agama?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun