Tetap tenang, menjaga ritme dan kecepatan dengan baik. Menyerang dengan intensitas tinggi. Bertahan dengan solid. Di sisi lain, Axelsen terkadang terlalu memaksa untuk mengunci poin. Ternyata, Lee sudah tegak berdiri meladeni segala upaya Axelsen.
Pertandingan panjang di game pertama berkesudahan dengan skor 30-29. Adrenalin para peggemar mereka tentu diobok-obok. Saya pun demikian. Hampir belum pernah terjadi pertandingan berkesudahan dengan skor itu. Rupanya itu menjadi titik maksimal yang tak bisa dijaga dengan selisih dua poin.
Axelsen membalas di set kedua. Tertinggal 14-18, satu-satunya wakil Eropa di partai final mampu memaksa pertandingan ke set ketiga. Sayangnya, Axelsen sudah kehilangan banyak energi. Konsentrasinya sepertinya sudah tersedot habis. Lee pun mengunci pertandingan dengan mudah.
Kemenangan 30-29,20-22, 21-9 mengantar Lee ke podium tertinggi. Lee menjadi pemain tunggal putra kedua Malaysia yang memenangi All England di era Superseries, setelah siapa lagi kalau bukan Chong Wei.
"Saya senang, gembira, sedih; semuanya menjadi satu momen jadi sulit untuk menggambarkan perasaan saat ini," ungkap Lee Zii Jia usai laga kepada BWF.
Lee mengakui salah satu kunci kemenangannya adalah tetap menjaga fokus. Kehilangan sedikit saja konsentrasi akan memberikan keuntungan pada lawan.
"Saya tidak boleh kehilangan fokus, jika tidak, lawan saya akan mengambil keuntungan. Inilah yang saya katakan pada diri sendiri: 'fokus pada setiap poin'. "
Sementara itu, Axelsen mengakui energinya terkuras oleh sejumlah pertandingan panjang sepanjang pekan ini. Kecerobohan dan ketergesaan untuk tidak mengatakan karena jemawa akhirnya menjadi bumerang. Namun ia tidak bisa tidak memberi selamat.
Apapun alasannya, Axelsen tetap harus angkat topi pada Lee Zii Jia. "Saya pikir Lee adalah pemenang yang sah hari ini jadi saya ingin memberi selamat padanya." Sebuah sikap sportif yang layak diapresiasi pula.
Menjadi diri sendiri