Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Asa dari Kemudo di Tengah Kasak-kusuk Impor Pangan

3 November 2018   16:45 Diperbarui: 10 November 2018   01:09 1554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kantor Kepala Desa Kemudo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah/foto Danone

Nasi merah. Telur goreng balado. Tumis selada air. Lele goreng. Ayam bakar. Irisan mentimun. Daun kemangi plus sambal merah yang diulik halus. Semuanya saling bertindihan di piring seng blek putih. Penempatan menu yang kurang proporsional membuat motif bunga dan bulan sabit yang menghiasi pinggiranan jenis piring legendaris itu separuh tertutup.

Melihat piring itu bayangan masa kecil saya berkelebat. Terkenang kala jam makan tiba. Ibu dengan sigap mengedarkan perbendaharaan piring seng blek itu kepada anggota keluarga. Piring-piring itu menjadi perkakas makan andalan keluarga kami selama bertahun-tahun.

"Semua makanan ini berasal dari usaha warga di sini," suara berat membuyarkan lamunan.

Hermawan Kristanto namanya. Pria berbaju hitam lengang panjang yang digulung hingga siku itu merupakan kepala Desa Kemudo. Wilayah administratif ini merupakan bagian dari Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Di bawah pendopo bergaya joglo, ia bercerita tentang kehidupan masyarakat setempat. Lebih dari 50 persen dari 1500 kepala keluarga berprofesi sebagai petani dan buruh pabrik. Mereka mengolah sekitar 125 hektar tanah pertanian yang 15 hektar di antaranya menjadi lokasi industri.

Selain menggunakan lahan yang ada untuk bercocok tanam, warga lokal juga memanfaatkan pekarangan rumah untuk ditanami sejumlah jenis tanaman konsumsi seperti terong dan cabai. Tidak hanya memanfaatkan tanah kosong di sekitar rumah, masyarakat pun menjadikan tembok sebagai medium.

Sejumlah tanaman tumbuh menempel di tembok dengan bantuan penyangga kayu setinggi 30 cm. Lebih dari 20 tanaman dalam polibek hitam berukuran 10 X 15 cm menghiasi perjalanan menuju warung makan dengan desain rumah adat masyarakat Jawa itu.

Warga memanfaatkan tembok untuk menanam dengan bantuan penyangga kayu/foto dokpri
Warga memanfaatkan tembok untuk menanam dengan bantuan penyangga kayu/foto dokpri
"Hasil tanaman masyarakat kemudian diolah dan dipasarkan setiap malam di angkringan ini," ungkap pria 45 tahun merujuk tempat seluas beberapa meter persegi itu.

Selain joglo utama dengan sejumlah kursi dan meja kayu, di sisi kanan terparkir dua gerobak yang biasa digunakan untuk menjaja aneka makanan dan minuman. Bila kapasitas pengunjung meningkat, joglo berukuran lebih kecil di sebelah kiri bisa menjadi pilihan.

Oleh masyarakat setempat, tempat melewatkan malam dengan aneka hidangan yang diracik dari hasil pertanian setempat itu dinamai Angkringan Joglo.

Ribut Soal Impor

Situasi yang terjadi di Desa Kemudo jauh dari kasak-kusuk soal impor beras dan sejumlah komoditi yang menghiasi ruang pemberitaan belakangan ini. Tentang impor beras misalnya, ada instansi pemerintah yang ngotot untuk mengimpor. Sementara pihak lain mengganggap  itu tidak perlu. Situasi bertambah rumit ketika kedua pihak saling melemparkan pernyataan secara terbuka.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai impor barang konsumsi sepanjang Januari hingga Juni 2018 sudah menginjak angka 8,18 miliar USD. Angka ini naik 21,64 persen secara year on year. Komoditas pangan, menurut pernyataan Kepala BPS, Suhariyanto, paling berkontribusi bagi kenaikan impor barang konsumsi itu. Komoditas pangan dimaksud antara lain beras, gula dan kedelai.

Sutarto Alimoeso menganggap peningkatan impor beras dalam kurun lima bulan terakhir cukup beralasan. Menurut Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) ini, terbukanya izin impor 1 juta ton beras dari Kementerian Perdagangan menjadi sebab.

Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada ini menilai pemerintah tidak ingin mengambil risiko. Gejolak di pasar bisa mengemuka bila stok beras berkurang. Tak heran pemerintah kemudian membuka keran impor.

Infografis dokpri
Infografis dokpri
Situasi saat ini tentu bertolak belakang dengan kondisi lebih dari tiga dekade silam. Pada 1984, Indonesia pernah mencapai swasembada pangan. Setahun kemudian, Soeharto, presiden Indonesia saat itu, diundang Food and Argriculture Organization (FAO) untuk berbicara di Konferensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Sedunia itu.

Soeharto diminta untuk berbagi kisah sukses di hadapan para petinggi negara dari seantero jagad. Sebagaimana dikutip Dewi Ambar Sari dan Lazuardi Adi Sage dalam buku Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto (2006), Soeharto mengatakan keberhasilan tersebut tidak lepas dari kerja raksasa seluruh rakyat Indonesia.

Saat itu Soeharto tidak hanya berbicara tentang kiat mencapai swasembada pangan. Ia juga mengatasnamai rakyat Indonesia menyumbang 100.000 ton beras untuk rakyat Afrika yang sedang tertimpa kelaparan.

Swasembada pangan hingga ketahanan pangan yang terjaga setidaknya hingga dua tahun setelah itu membuat penguasa Orde Baru itu tidak hanya mendapat pujian luas. Pemimpin yang lengser pada 1998 setelah berkuasa selama 32 tahun juga diganjar medali emas yang diserahkan langsung oleh Direktur Jenderal FAO, Dr. Eduard Saoma dalam lawatannya ke Jakarta.

Ternyata ketahanan pangan Indonesia hanya bertahan lima tahun. Demikian kesimpulan Pantjar Simatupang dan I Wayang Rusastra dalam Kebijakan Pembangunan Agribisnis Padi yang terbit tahun 2004.

Keduanya mensinyalir ketahanan pangan era Orde Baru sebenarnya rapuh. Menurut mereka, saat itu Soeharto hanya menaruh perhatian dan kemudian menjadikan stabilitas harga beras sebagai tolak ukur tunggal. Selama harga beras dapat dijangkau masyarakat berarti ketahanan pangan terjaga.

Ternyata persoalan ketahanan pangan tidak sesederhana itu. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengartikan ketahanan pangan sebagai "kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai perseorangan."

Regulasi ini menjabarkan lebih lanjut terkait cerminan terpenuhinya pangan dalam hal ketersediaan pangan yang cukup tidak hanya dalam jumlah tetapi mutunya. Selain itu, pangan tersebut harus "aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan".

Dalam undang-undang itu juga diperjelas pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food soveregnity) melalui kemandirian pangan (food resilience) dan keamanan pangan (food safety).

Kemandirian pangan diartikan sebagai kemampuan negara dan bangsa memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup hingga tingkat perseorangan. Pemenuhan kebutuhan hingga unit terkecil itu dicapai dengan memanfaatkan potensi sumber daya setempat baik alam, manusia, sosial, ekonomi hingga kearifan lokal.

Sementara keamanan pangan merupakan "kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah  pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi".

Pasca masa keemasan itu Indonesia kembali mengimpor beras. Mengacu pada data BPS, Indonesia pernah mengimpor 5 juta ton pada 1999. Tahun sebelumnya, jumlah impor Indonesia mencapai 6 juta ton. 

Infografis dokpri
Infografis dokpri
Pertanian terpadu

Hermawan Kristanto sudah lebih dari lima tahun menjadi orang nomor satu di Desa Kemudo. Dalam rentang waktu itu ia dan aparat desa sudah melakukan sejumlah terobosan. Salah satunya menerapkan sistem pertanian terpadu.

Sistem ini mengedepankan pertanian yang lebih modern dan berwawasan lingkungan. Tidak hanya itu, sistem ini pun berkesinambungan dengan memanfaatkan semua potensi yang ada.

Kantor Desa Kemudo menjadi sentra sekaligus etalase mini penerapan konkret sistem tersebut. Di belakang gedung utama terdapat lahan pertanian seluas belasan meter persegi. Tanaman terong dengan daun hijau lebat tumbuh di sana. Sebagian besar sudah menghasilkan buah yang siap dipanen.

Tak jauh dari situ, berdiri kandang sapi dengan seekor sapi jantan di dalamnya. Di sampingnya terdapat beberapa ember hitam. Di dalamnya ikan lele berbagai ukuran hidup secara terpisah. Persis di sampingnya, berdiri sebuah gudang terbuka dengan tumpukan palet (dua lapis bilah kayu yang tersusun searah yang disela balok melintang, digunakan untuk menumpuk muatan supaya dapat diangkat sekaligus) di beberapa sisi.

"Tanaman pertanian ini menggunakan pupuk organik yang diolah oleh masyarakat setempat," tandas Hermawan.

Purwoto Nur Wahono, Direktur BUMDes Kemudo Makmur/foto dokpri
Purwoto Nur Wahono, Direktur BUMDes Kemudo Makmur/foto dokpri
Pupuk itu berasal dari berbagai sumber. Ada yang diolah dari bonggol pisang yang dicampur gula jawa, air cucian beras, dan air kelapa. Bahan-bahan itu kemudian difermentasi sebelum digunakan untuk memberikan nutrisi pada tanaman. Ada juga dari kotoran hewan seperti sapi dan kambing.

"Penerapan pertanian terpadu ini mulai dari pengelolaan pupuk organik, budidaya ikan lele, peternakan sapi, kambing, ayam, dan kelinci, serta budidaya sayuran dan buah-buahan," simpul Hermawan yang berlatar belakang pengusaha.

Konsep tersebut kemudian menjadikan Desa Kemudo sebagai desa wisata edukasi. Di sana tidak hanya berlaku aktivitas bertanam dan beternak, tetapi juga menjadi laboratorium untuk belajar tentang pengelolaan pertanian terpadu.

Bonggol pisang dan air cucian beras lantas difermentasi menjadi pupuk organik/foto dokpr
Bonggol pisang dan air cucian beras lantas difermentasi menjadi pupuk organik/foto dokpr
Tidak sampai di situ, pertanian ini pun berkolaborasi dengan industri menjadi pertanian industri. Tumpukkan papan kayu  jati yang menjadi limbah industri kemudian diolah menjadi berbagai kerajinan seperti kursi dan meja.

Pengelolaan ini dibuat secara profesional melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang diberi nama BUMDes Kemudo Makmur. Menurut sang direktur, Purwoto Nur Wahono, BUMDes yang digerakan dan dihidupi oleh PT Sarihusada Generasi Mahardhika ini bergerak dalam banyak bidang usaha.

Pengelolaan afval atau sampah industri seperti karton, plastik, aluminium foil dan palet kayu hingga jeriken. Palet yang sebelumnya digunakan untuk pengemasan misalnya, diolah menjadi aneka produk kerajinan mulai dari perabot rumah tangga, kerajinan tangan hingga suvenir. 

Patut diketahui, salah satu sumber utama afval berasal dari pabrik Sarihusada yang letaknya nyaris sepelempar batu dari balai Desa Kemudo.

Selain itu, bersama masyarakat setempat, pemerintah desa Kemudo mengelola pabrik pakan ternak. Kehadiran pabrik ini bertujuan untuk mencukupkan kebutuhan pakan ternak masyarakat setempat.

Di samping itu, pengelolaan wisata air kali Woro Purbo. Kali yang membentang di sebelah barat menjadi lokasi strategis untuk aneka wisata air seperti outbound, area camping, dan pemeliharaan ikan air tawar sistem karamba.

Berdiri sejak 2016, omset BUMDes ini sudah mencapai Rp 3,7 miliar. "Tahun ini ditargetkan mencapai Rp 5 miliar," tegas Hermawan.

Hermawan berharap BUMDes ini terus berkembang. Ia diandalkan sebaggai jembatan menuju kesejahteraaan masyarakat desa. Produktivitas dan keanekaragaman usaha ekonimi kerakyatan semakin meningkat serta menjadi institusi untuk mendukung rantai produksi dan pemasaran sumber daya alam yang ada. Pun membuat masyarakat semakin diberdayakan, bukan sebaliknya: diperdaya.

"Sebelummya para petani di sini lebih memilih membeli bibit yang sudah jelas mudah dicapai. Bila tidak memiliki modal, mereka akan terpaksa berhutang kepada tengkulak," ungkap Hermawan.

Dengan berhutang itu, lanjut Hermawan, ketergantungan petani pada tengkulak menjadi tinggi. Pasokan pupuk kemudian bergantung juga pada rentenir. "Akhirnya, hasilnya pun akan kembali lagi kepada tengkulak."

Hermawan Kristanto, Kepala Desa Kemudo/Danone
Hermawan Kristanto, Kepala Desa Kemudo/Danone
Mulai dari pekarangan

Menurut Hermawan, saat ini 30 persen lahan pertanian di Desa Kemudo sudah menggunakan pupuk organik. Meski belum paripurna, tingkat kesadaran masyarakat untuk menggunakan pangan organik makin meningkat.

Hal ini tentu sejalan dengan tren yang sedang berkembangan saat ini. Perkembangan gaya hidup sehat menjadi sebab.  Prof Dr Ir Ali Khomsan MS justru tidak melihat perbedaan signifikan terkait kandungan nutrisi dalam bahan pangan organik dan non organik.

"Yang membedakan hanyalah bahan pangan organik sama sekali tidak mengandung bahan pestisida," ungkap dosen Institut Pertanian Bogor sejak 1983 itu.

Meski begitu penerapan pertanian organik telah mendorong masyarakat Desa Kemudo menggerakan sistem pertanian terpadu. Dengan menghindari penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan herbisida, masyarakat akan lebih memilih menggunakan kotoran hewan yang mereka pelihara. Sementara pasokan pakan berasal dari pabrik setempat.

Memanfaatkan pekarangan untuk menjalankan program Kebun Gizi/foto dokpri
Memanfaatkan pekarangan untuk menjalankan program Kebun Gizi/foto dokpri
Situasi ini membuat aktivitas masyarakat menjadi lebih produktif. Sebagaimana dicontohkan Hermawan, "Pagi masyarakat bisa tanam sayuran, bisa panen telur ayam. Siang hari kalau ada itik bisa buat sebagai telur asin. Sehingga pada malam hari bisa dijual di angkringan."

Masyarakat setempat mewujudkannya dari lingkungan terdekat. Melalui program Kebun Gizi yang berbasis di masing-masing rumah, masyarakat Desa Kemudo berusaha mencukupkan kehidupan mereka. Model seperti ini pernah mengantar Desa Kemudo pada 2016 menjadi juara tingkat provinsi Jawa Tengah.

Alih-alih berbelanja kebutuhan pangan, uang yang tersedia bisa dimanfaatkan untuk pendidikan anak sekolah. Selain itu, "Masyarakat tidak perlu mengejar menjadi karyawan pabrik. Tetapi mereka memilih memanfaatkan potensi yang ada di rumah sendiri".



Referensi:

Dewi Ambar Sari & Lazuardi Adi Sage. 2006. Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto. Jakarta: PT Jakarta Citra.

Pantjar Simatupang dan I Wayan Rusastra. 2004. Kebijakan Pembangunan Agribisnis Padi diakses dari http://www.litbang.pertanian.go.id.

Badan Pusat Statistik (BPS), 2018.

http://industri.bisnis.com/read/20180717/12/817413/semester-i2018-impor-pangan-indonesia-membengkak diakses pada 24 Oktober 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun