Terhitung sejak 2014 kursi Menteri Perdagangan selalu berganti saban tahun. Mula-mula Rachmat Gobel, lalu ditempati Thomas Trikasih Lembong setahun berselang, dan sejak Juli 2016 dijabat Enggartiasto Lukita. Banyak alasan mengemuka dibalik reshuffle demi reshuffle tersebut. Salah satu yang bisa dijadikan pijakan adalah kemampuan mengendalikan lonjakan harga bahan pangan.
Memang tidak mudah menangani hal yang satu ini. Konsekuensinya sangat besar karena menyangkut kebutuhan dasar ratusan juta masyarakat Indonesia. Bila urusan perut beres, maka soal-soal lain akan mengikuti dengan sendirinya. Demikianpun sebaliknya.
Tentang ini tidak hanya kursi menteri yang dipertaruhkan, nama dan reputasi pemerintahan pun ikut terseret. Bahkan anasir yang satu ini turut dibawa-bawa untuk menilai berhasil tidaknya kinerja pemerintah. Puas tidaknya publik pun ditakar dari berhasil tidaknya mengendalikan lonjakan harga kebutuhan pokok. Tak ayal ia menjadi hal yang penting, sensitif sekaligus seksi.
Pemerintah akhirnya harus berpikir keras untuk membereskan hal ini. Apalagi menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan pokok selalu menjadi tajuk utama. Pertanyaan kini, mengapa tiap tahun hal yang sama selalu berulang?
Kita bisa berangkat dari teori permintaan dalam ilmu ekonomi untuk menjawab hal ini. Bila permintaan naik maka harga akan naik, begitu pula sebaliknya. Â Bila permintaan meningkat sementara barang yang tersedia sedikit makan harga pun melonjak. Bukan rahasia lagi menjelang hari raya tingkat kebutuhan sekaligus keinginan seketika meningkat. Kebutuhan akan barang-barang kebutuhan pokok bertambah.
Persoalan pun muncul ketika ketersediaan atau pasokan tidak sebanding dengan permintaan. Kekurangan bahkan kelangkaan terjadi. Lebih parah lagi, sekaligus menjadi persoalan lain yang tak kalah pelik, bila kelangkaan itu terjadi karena trik dan intrik transaksional. Arus barang pada titik-titik tertentu sengaja ditahan atau ditimbun agar harga di pasaran semakin melambung tinggi.Â
Pada titik ini harga meningkat bukan karena kurangnya stok atau jumlah produksi, tetapi karena "permainan" pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan momentum demi mengerek keuntungan ke titik maksimal. Karena itu urusan menjaga stabilitas harga bahan pokok menjadi pelik, tidak bisa diselesaikan seketika, dan oleh pihak-pihak tertentu saja.
Bila kerumitan seperti itu terjadi, apakah tidak ada celah untuk diperbaiki? Dengan kata lain, apakah tidak ada solusi yang bisa diambil?
Pertama-tama kita perlu mengapresiasi kerja keras pemerintah dan semua pihak yang ikut andil menjaga tingkat inflasi bahan pokok di tahun 2017. Selama bulan puasa tahun lalu, tingkat inflasi hanya sebesar 0,86 persen dan saat lebaran turun menjadi 0,69 persen. Ini menjadi pencapaian terbaik dalam enam tahun terakhir.
Langkah tersebut penting untuk dipertahankan agar tingkat inflasi dan daya beli masyarakat tetap terjaga. Namun demikian regulasi strategis seperti itu tidaklah cukup untuk menekan fluktuasi harga, apalagi dalam ruang lingkup yang lebih luas. Kesuksesan aplikasi di ibu kota atau di daerah-daerah tertentu tidak sertam merta menjadi patokan tingkat keberhasilan secara umum sekaligus menjadi garansi bahwa situasi yang sama pun akan berlaku di mana-mana. Butuh usaha berkesinambungan dan kolaborasi komprehensif mulai dari pemerintah, distributor, hingga masyarakat bawah. Nah, apa yang bisa dilakukan masing-masing pihak?