Tinggal di Jakarta di musim bediding seperti ini jelas membuat udara terasa lebih sejuk dan nyaman di tubuh. Ditambah, bila siang menjelang sore hujan turun, penulis kerap menikmati sore yang teduh dengan menjalani aktivitas jalan kaki atau bersepeda. Sungguh ini merupakan kenikmatan yang sulit didapat bila kota Jakarta sedang musim panas, udara terasa kering dan panas menyengat. Atau, bila hujan turun di malam hari, udara yang makin dingin menjadikan tidur lebih nyenyak.Â
Dan, di saat musim bediding ini pula aku kerap mengintip status WA kerabat dan teman-teman di tanah kelahiranku, Kota Wisata Batu, tepatnya di kaki Gunung Arjuno. Mereka yang terbiasa hidup di dataran tinggi dengan udara yang lumayan dingin, merasakan kedinginan yang berlebih, sehingga istilah bediding makin terasa mencubit tubuh. Seiring dengan itu, kadang jadi mendorongku untuk bernostalgia. Mengingat masa kecil saat masih tumbuh dan besar di kota penghasil buah Apel itu. Meski sebatas khayalan dan nostalgia, tetap saja menghadirkan kenikmatan dan kerinduan tiada tara.
Ya dulu, bila musim bediding sedang berlangsung, di pagi atau sore hari kami biasa menghabiskan waktu di dapur bersama keluarga. Di sana mbah kakung, bapak, dan saudaraku yang lain sering meriung di dapur duduk menghadap pawon / tungku. Sementara, mbah Putri dan ibu sibuk dengan aktivitas masak-memasak. Ada saja yang dilakukan bila kami sedang berkumpul.Â
Pawon yang berarti tungku ini berasal dari kata dasar awu yang berarti abu, mendapat awalan pa dan akhiran an, yang kemudian berarti tempat. Masa itu pawon di rumah kami menggunakan bahan bakar kayu. Jadi, pawon bisa diartikan tempat abu atau tempat memasak yang menghasilkan abu. Dalam konteks budaya Jawa, Pawon pada masa itu bukan hanya sekadar tempat memasak, tetapi juga memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi pusat kegiatan keluarga. Lebih dari itu, di musim bediding pawon juga biasa digunakan untuk menerima tamu atau berinteraksi dengan para tetangga dan kerabat. Perapian dari pawon menjadi pusat kegiatan, sekaligus tempat menjaga kestabilan suhu tubuh agar memperoleh kehangatan. Secara bentuk dan fungsi hampir sama dengan perapian yang sering kita saksikan di rumah-rumah orang kaya di negara Eropa dalam film-film. Namun, pawon di Jawa memiliki fungsi tambahan, yaitu digunakan juga untuk aktivitas memasak, dan lainnya.
Aktivitas menghangatkan tubuh di pawon ini, orang di kampungku menyebutnya dengan Api-api. Penyebutan istilah menghangatkan tubuh ini berbeda-beda pada daerah-daerah lain, misalnya orang-orang Tengger di kawasan Bromo menyebutnya sebagai Gegeni. Mungkin Kompasianer bisa bantu menambahkan penyebutan pada daerahnya atau daerah lain yang diketahui.
Ngunyah Adalah Cara Lain Hangatkan Tubuh
Seperti disebutkan di atas, bahwa selain untuk menghangatkan tubuh, pawon juga merupakan tempat untuk memasak. Orang-orang zaman dulu memasak apa pun ya di pawon, terutama sebelum ditemukannya kompor. Mbahku dan ibuku juga biasa masak di pawon. Pada saat keluarga berkumpul di depan pawon, biasanya masakan yang diolah bukan masakan utama. Namun ada saja yang dimasak, biasanya didahului dengan masak air untuk membuat minuman. Di masa kecilku, untuk anak-anak dan perempuan biasanya disajikan teh. Aku masih ingat waktu itu favoritnya adalah teh awur cap Bandulan yang jadi kesukaan keluarga kami. Lalu, untuk mbahkung dan bapak disajikan kopi tubruk / kopi hitam plus gula merah yang ditaruh di piring kecil / tatakan gelas / lepek. Jadicara penyajian kopinya tanpa gula, dan kalau ingin tambahan manis bisa sambil mengunyah gula merah itu. Sebagai catatan tambahan, kopinya waktu itu  hasil kebun sendiri dan juga diolah sendiri. Kebetulan di samping rumah ada dua pohon kopi yang buahnya cukup untuk dikonsumsi sendiri.
Untuk camilan atau makanan sambil Api-api ini biasanya mbahku atau ibuku menyajikan makanan olahan yang dihasilkan dari kebun sendiri. Misalnya, singkong yang dipanen dari kebun, selain dikukus dan disantap saat hangat-hangat, sebagai tambahannya disediakan gula putih / gula pasir sebagai cocolan. Atau, singkong diolah menjadi sawut. Ini merupakan salah satu kesukaanku. Setelah direbus atau dikukus, singkong dihancurnya dengan cara ditumbuk, lalu dicampur dengan gula merah. Atau, juga masih termasuk favoritku yaitu Lemet / di Jakarta disebut Timus.Â
Selain itu, kami punya saudara yang merupakan petani kentang. Biasanya pada saat panen kami dikirimi kentang. Paling sering kentang ini direbut dan setelah matang kami memakannya dengan dicocol gula pasir. Atau kadang diolah menjadi beragam jenis makanan camilan lainnya.Â