Mohon tunggu...
Chamim Rosyidi Irsyad
Chamim Rosyidi Irsyad Mohon Tunggu... Guru - nama pena: Chrirs Admojo

Ajang berbagi, bermanfaat bagi sesama, hidup semakin bermakna dalam ridlo Allah Azza wa Jalla.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berliterasi dengan Beragam Bahasa dan Aksara: Bercermin Sekilas kepada Eyang Suparto Brata

17 Februari 2021   17:05 Diperbarui: 17 Februari 2021   17:08 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(bagian 1)


Oleh: Chrirsadmojo

Gayengnya Pisowanan

16 Februari. Saya jadi teringat ketika sowan ke rumah Eyang Suparto Brata. Seingat saya tahun 2013. Harinya yang masih saya ingat, Sabtu. Ditemani Ipung, Dhahana Adi Pungkas, sang penulis Surabaya Punya Cerita. Beliau sambut  kedatangan kami dengan penuh persahabatan dan keramahan.

Beliau ajak kami berdua ke kamar beliau. Kamar berukuran 3 X 4 meter persegi ini sekaligus beliau fungsikan sebagai tempat beraktivitas kepenulisan beliau. Ya, di rumah yang setiap pagi menatap matahari Jl. Rungkut Asri III/12 atau Perum YKP RL-I-C 17 Surabaya inilah Eyang Parto mengisi hari-harinya dengan ceria dan aktivitas bersastra dan bersejarah.

Kawan, niat awal kami sowan ke rumah Eyang Suparto Brata adalah hendak memohon beliau sebagai narasumber. Narasumber dalam kegiatan sarasehan pengantar “Lomba Menulis Tokoh Kampung” tahun itu kami kolaborasikan bersama penulis muda. Beliau pun menyediakan diri dengan suka cita. Apalagi even yang hendak kami helat ini menghadirkan para ketua OSIS SMP se Kota Surabaya. Ini dalam rangka sekolah kami membuka lomba menulis tentang tokoh kampung di tempat dan sekitar para siswa tinggal.

Di kamar beliau inilah kami banyak membaca yang tertebar. Tempat tidur sederhana. Meja tulis berusia yang membersamai beliau setia menekuni jalan menulis.  Rak buku yang berpenghuni buku-buku sastra dan sejarah. Baik karya sendiri ataupun karya penulis kesohor nasional dan dunia. Web-blog dan harddisk dalam PC yang beliau penuhi dengan aneka tulisan dari ruang ini, kebanyakan sastra dan sejarah.

Kata beliau, setiap bakda subuh hingga matahari terbit aktivitas menulis beliau jalani secara disiplin. Kemudian beliau lanjutkan lagi aktivitas menulis ini sesudah jalan-jalan pagi dan menyirami pepohonan, hingga menjelang zuhur. Setiap hari tiada henti, kecuali ada agenda memenuhi undangan. Baik undangan sarasehan, pertemuan ilmiah, dan semacamnya di dalam kota ataupun di luar kota.

Kawan, ada dua hal penting sempat saya catat sepanjang  perbincangan gayeng bersama beliau. Pertama, membaca buku dan menulis buku. Kedua, ada bukti sejarah baru yang rasional tentang rute perjalanan tentara Mongol ke tanah Jawa.

Tentang membaca dan menulis buku, beliau berpesan agar dilakukan dalam berbagai bahasa dan aksara. Bagi Eyang Suparto Brata, membaca dan menulis buku bukanlah kodrat. Oleh karenanya, perlu diajarkan, dilatihkan, dibiasakan, dan dibudayakan di sekolah pada semua jenjang sehingga menjadi karakter. Harapan beliau, membaca dan menulis buku perlu sering dilombakan.

Berbudi Bawa Laksana

Membaca laku hidup Eyang Suparto Brata sama dengan membaca tulisan-tulisan beliau atau  mendengarkan petuah-petuah beliau. Yang beliau katakan atau tuliskan adalah yang beliau lakukan atau alami. Pribadi yang konsisten. Satunya kata dan satunya tindakan.

Tak berlebihan jika beliau disebut sebagai pribadi yang ꦧꦺꦂꦧꦸꦢꦶꦧꦮꦭꦏ꧀ꦱꦤ , berbudi bawa laksana. Melafalkan "berbudi" seperti melafalkan “e” pada “berang” bukan “e” pada “beruang” (maaf, berarti menulisnya dengan aksara Jawa bukan ꦧꦼꦂꦧꦸꦢꦶꦧꦮꦭꦏ꧀ꦱꦤ).

Kawan, untuk memperoleh gambaran agak jauh berkaitan dengan ide Eyang Suparto Brata ini, izinkan saya mengutipkan terlebih dahulu sebagian paparan saya dalam Seminar Nasional Paramasastra 3 di Unesa pada 30 Mei 2015 yang lalu sebagai berikut.

Adalah pencanangan Surabaya Kota Literasi yang dilakukan oleh Walikota Surabaya, Ir. Tri Rismaharini, M.T. pada 2 Mei 2014 dapat dijadikan tonggak pembudayaan literasi lebih lempang di Kota Surabaya. Sesungguhnya, sejak itu bertambahlah tebaran peluang-peluang inovatif bagi upaya-upaya pembiasaan membaca, menulis, mendengar, berbicara, dan berdiskusi.

Upaya pioner pembiasaan literasi ini melempangkan jalan para generasi bangsa menempa diri menjadi insan yang berkebudayaan dan bermartabat lebih tinggi. Pembiasaan literasi bagi masyarakat Surabaya melalui beragam jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Upaya yang berpeluang menginspirasi lahirnya gerakan yang lebih kreatif dan bermanfaat pada bidang literasi bagi segenap daerah seantero nusantara.

Agaknya fenomena kota literasinya Surabaya ini dapat menjadi secercah cahaya untuk meretas jalan yang selama ini terasa gelap dalam pembudayaan literasi. Fenomena ini sekaligus dapat menjawab kegalauan sang begawan sastra Jawa, Suparto Brata. Kegalauan yang diungkap berulang-ulang pada setiap ada kesempatan bahwa kalau orang mau disebut modern, ia harus mau meninggalkan tradisi omong dan jagongan.

Menurut beliau, tradisi omong dan jagongan ini kuno. Tradisi bangsa primitif. Bangsa modern sudah tidak membiasakan diri dengan budaya omong-omong dan jagongan. Beliau menyatakan bahwa bangsa modern harus membiasakan diri dengan budaya membaca dan menulis. Karena itu, beliau menegaskan bahwa tantangan Indonesia ke depan adalah mengubah dirinya dari masyarakat yang terkungkung oleh tradisi kelisanan menjadi masyarakat yang bertradisi keberaksaraan (literacy).

.... (maaf, bersambung pada tulisan bagian 2 ...)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun