Mohon tunggu...
Chalya Maritza Aurelia
Chalya Maritza Aurelia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Semangat!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rasisme, Tanda Pancasila Belum Tertanam dalam Diri

11 November 2020   20:07 Diperbarui: 11 November 2020   20:10 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di samping terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan, Kota Surabaya juga dikenal sebagai kota yang kaya akan keberagaman etnisnya. Mulai dari etnis Jawa, Tionghoa, Arab, India, Bali, Madura dan lainnya, semua etnis hidup berdampingan dan saling menghargai satu sama lain. 

Dibandingkan dengan kota lain di Indonesia, Surabaya termasuk kota yang jarang mengalami isu rasisme namun tidak menutup mata juga bahwa isu rasisme itu masih saja terjadi di tengah masyarakat kota multietnik ini khususnya antara etnis Jawa dan Tionghoa.

Salah satu channel Youtube, Majelis Lucu Indonesia ikut mengungkap isu rasisme antara masyarakat etnis Jawa dan Tionghoa di Surabaya lewat video youtube yang mereka unggah pada Agustus tahun 2019 lalu. 

Video tersebut merupakan episode kedua dalam konten mereka, "Bondo Wani" yang memang dikhususkan untuk mengangkat masalah sosial di Kota Surabaya dengan diselingi 'guyonan' atau bercandaan bersama Dono Pradana sebagai host. Video tersebut menyajikan dua pandangan berbeda dari dua etnis yang saling bertolak belakang tentang keberagaman etnis yang ada di Surabaya.


Dalam video tersebut, Dono mengunjungi dua kampung lama di Surabaya yaitu Kampung Pecinan di jalan Kapasan Dalam, Kecamatan Simokerto dan Kampung Kejawen di jalan Maspati, Kecamatan Bubutan. Ada banyak warga dengan etnis berbeda tinggal di dua kampung tersebut. 

Dono bertanya kepada warga kampung di sana bagaimana pendapat mereka tentang ras satu sama lain. Mereka pun  kompak menjawab bahwa tidak ada perbedaan antara warga etnis Tionghoa, Jawa, Madura dan yang lain, semua bersatu dalam kedamaian.  Salah satu warga di sana bahkan berkata bahwa keberagaman etnis  yang ada di dua kampung itu seperti replika kecil Nusantara. Mereka di sana hidup bertetangga dengan rukun dan saling menghormati satu dengan yang lain sejak beberapa generasi yang lalu. 

Namun, Dono menyampaikan dalam video tersebut bahwa faktanya, seolah-olah masih ada sekat antara etnis Jawa dan Tionghoa. Sekat itu seperti ada perbedaan 'level' di antara keduanya dalam kehidupan sehari-hari. 

Oleh karena itu, Dono menghadirkan narasumber yaitu oknum Jawa rasis dan oknum Tionghoa rasis yang sangat membenci ras satu sama lain. Dono melontarkan pertanyaan kepada masing-masing oknum tersebut mengapa mereka merasa benci dengan ras satu sama lain. 

Dua oknum rasis tersebut merupakan salah satu contoh bahwa rasisme masih berkembang di tengah masyarakat Surabaya. Padahal, sebagai warga negara Indonesia, kita memiliki suatu pedoman hidup berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila. 

Pancasila bukanlah sekedar kata-kata saja tetapi ada nilai-nilai di balik kelima sila Pancasila. Pemimpin bangsa Indonesia mewariskan Pancasila kepada generasi sekarang dengan harapan bahwa nilai-nilai Pancasila akan selalu menuntun sikap dan perilaku  warga negara Indonesia dalam semua aspek kehidupan mereka.

Mungkin, dua oknum di atas yang mewakili etnis Tionghoa dan etnis Jawa dan sebagian besar dari kita mampu menghafal Pancasila di luar kepala, tetapi tidak benar-benar memahami apa makna yang terkandung dalam Pancasila. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun