Mohon tunggu...
Chalista Putri Romano
Chalista Putri Romano Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Omnibus Law Cipta Kerja Vs Buruh Perempuan

19 Januari 2021   16:50 Diperbarui: 19 Januari 2021   17:08 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan
Pandemi Covid-19 di Indonesia menciptakan tantangan multidimensi yang telah mengancam berbagai aspek kehidupan seperti sistem Kesehatan, masalah sosial dan juga ekonomi. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah terutama pada bidang ekonomi digelontorkan dengan tujuan meminimalisir kerugian dampak signifikan jangka panjang dari pandemi Covid-19. Salah satu upaya pemerintah yang menjadi perbincangan hangat dalam tahun 2020 yaitu pemerintah Indonesia mensahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19. RUU tersebut dinilai dibahas secara diam-diam tanpa melibatkan partisipasi publik termasuk kepentingan perempuan. Pada hakikatnya, UU Omnibus Law merupakan UU yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi Indonesia sebagai dampak Covid-19 dan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan berbagai regulasi baru (CNN, 2020). Sebelum disahkan, UU Ciptaker sudah mendapatkan penolakan dari berbagai kelompok masyarakat terutama kelompok pekerja perempuan. Alih-alih memenuhi harapan kelompok masyarakat, DPR tetap melanjutkan perundingan dan pengesahan RUU Ciptaker yang dinilai banyak pasalnya merugikan dan mendiskriminasikan buruh perempuan. Hal ini semakin menjadi kontroversial dikarenakan sebagai kelompok marginal, melalui UU Ciptaker perempuan akan semakin menanggung beban yang berat.

Diskriminasi Perempuan dalam Omnibus Law Ciptaker

International Labor Organisation (ILO) melaporkan bahwa pekerja Indonesia yang rentan mencapai 57,6%. Dari komposisi tersebut, presentase buruh perempuan yang bekerja rentan lebih tinggi atau sebesar 61,8% dibandingkan buruh laki-laki 54,9% (Subakti, 2020). Sebagai kelompok marginal, perempuan menjadi lebih rentan untuk mengalami diskriminasi dan eksploitasi. Secara keseluruhan, terdapat 5 ancaman Omnibus Law yang disampaikan oleh LSM Solidaritas Perempuan (SP) yang berpotensi merugikan perempuan oleh (Rahayu, 2020). Pertama, kemudahan AMDAL dan KLHS yang berpotensi mengancam perempuan di daerah. Kedua, tidak dilibatkannya perempuan dalam investasi mengancam kepemilikan tanah perempuan. Ketiga, memperluas konflik agraria karena ada ketentuan yang menyamakan antara kedudukan produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional  impor. Keempat, perlindungan terhadap buruh perempuan dengan aturan cuti yang merugikan perempuan karena hanya menyebutkan cuti tahunanan dan cuti panjang lainnya yang diatur dalam perjanjian kerja. Kelima, akibat perampasan lahan, sulitnya lapangan pekerjaan dan hak buruh yang semakin dipangkas mendorong migrasi tenaga kerja perempuan dari sector agrarian menjadi buruh rumah tangga yang tidak dijamin perlindungannya oleh pemerintah.

Namun, ancaman Omnibus law yang memiliki dampak signifikan dan mengancam merugikan buruh perempuan kedepannya terdapat pada diskriminasi baik dalam upah dan cuti hak-hak reproduksi perempuan.  Di dalam Undang-Undang Cipta kerja perempuan dirugikan terutama pada hilangnya pasal yang menyebutkan hak cuti hamil selama tiga bulan, berbeda dengan UU No. 13  Tahun 2003 yang menjelaskan hak tersebut (Walhi, 2020). Tidak hanya itu, perempuan juga tidak mendapatkan hak cuti melahirkan dan cuti haid. Lebih parahnya, cuti hak reproduksi perempuan menjadi tidak berbayar dengan istilah 'no work no pay'. Selaras dengan diberlakukannya fleksibilitas jam kerja dan upah dengan membuat sistem kejar target. Perusahaan menetapkan target produksi tertentu yang jika memenuhi akan mendapat upah minimum dan jika tidak memenuhi target maka tidak mendapatkan upah minimum. Adanya kebutuhan cuti reproduksi mengakibatkan perempuan tidak dapat mengejar target dan diskriminasi terhadap upah buruh perempuan akan melonjak akibat fleksibilitas tersebut (Subakti, 2020).

Diskriminasi yang diberikan kepada perempuan pada dasarnya sebagai bentuk eksploitasi oleh para pengusaha untuk mengurangi biaya dan meningkatkan pendapatan. Ketimpangan relasi tersebut membuat perempuan telah terjerumus dalam situasi kerja yang tidak manusiawi dengan target dan jam kerja yang panjang namun dengan upah yang jauh dari standar hidup layak, kontrak pekerjaan yang tidak jelas bahkan bisa tidak diakui sebagai pekerja. Sehingga pada dasarnya UU Ciptakerja membentuk model Outsorcing yang bebas dengan model perbudakan modern.

Mengapa Demikian?
Untuk melihat fenomena tersebut, dapat dijelaskan melalui teori Gender dan Power yang dikemukakan oleh Robbert Connel pada tahun 1987. Teori Gender dan power oleh Robbert Connel menjelaskan adanya ketimpangan relasi kuasa yang menyebabkan ketidakadilan terhadap perempuan. Terdapat 2 struktur utama yang mencirikan hubungan gender antara pria dan perempuan, yaitu Sexual Division of Labor dan Sexual Division of Power dan kedua struktur tersebut terdapat dalam 2 level: level masyarakat dan level institusional. Struktur tersebut sudah mengakar dalam masyarakat baik karena sejarah dan kekuatan sosial-politiknya yang secara konsisten menciptakan ketidakadilan terhadap perempuan. Dikarenakan sudah mengakar, ketika masyarakat perlahan berubah, struktur ini akan tetap ada dan Sebagian besar utuh di tingkat masyarakat dalam periode yang lama. Seperti sebagai dasar-dasar dari peran yang ditentukan gender, dapat dilihat melalui norma sosial yang ada dalam masyarakat yang meyakini adanya pembagian kerja gender: memimpin rumah tangga adalah tugas laki-laki dan perempuan bertugas untuk mengurus keluarga di rumah. Norma yang ada dalam masyarakat terninstitusionalisasi dalam kebijakan yang cenderung membatasi perempuan.

Sejalan dengan teori tersebut, norma social yang ada dalam sexual division of labor membuat masyarakat (dalam konteks ini pengusaha) dan pemerintah melihat perempuan bukan merupakan tenaga kerja yang berkontribusi terhadap produksi dan hak-hak reproduksi perempuan didiskriminasi karena mengganggu fleksibilitas sehingga tidak dimuat dalam undang-undang tersebut. UU Omnibus Law membentuk perspektif pekerjaan yang dibatasi oleh gender diperparah dengan tidak ada satupun pasal yang mencantumkan kata perempuan (Rahayu, 2020). Tidak hanya itu, pengesahan RUU ciptaker ditengah penolakan kelompok masyarakat yang dirugikan, pengesahan tersebut menunjukkan bahwa negara tidak peka terhadap persoalan yang dihadapi oleh perempuan karena kepentingan perempuan ditinggalkan oleh institusi negara dan terus mengalami diskriminasi. Dengan melihat melalui teori gender dan power oleh Robbert Cornel bahwa saat ini, dalam level institusi masih sedikit perempuan yang mau mendorong dan memperjuangkan kepentingan perempuan dalam lingkungan politik dan pengambilan keputusan karena norma sosial yang sudah terinstitusionalisasi.

Kesimpulan
Sudah seharusnya kebijakan ketenagakerjaan yang dibuat oleh pemerintah mempertimbangkan dan melindungi kepentingan hak serta kesejahteraan pekerja perempuan baik segi material maupun non material. Dikarenakan sudah mengakar, walaupun masyarakat sudah berubah dan lebih mengenal prinsip kesetaraan gender, akan tetapi struktur hubungan antara perempuan dan laki-laki yang sudah terinstitusionalisasi dengan membentuk kebijakan yang cenderung mendiskriminasi akan tetap ada dan utuh di tingkat masyarakat dalam periode yang lama. Struktur tersebut tidak akan berubah jika tidak ada gerakan untuk melakukan perubahan. Dengan demikian, tetap diperlukan upaya oleh perempuan secara berkolektif untuk melawan struktur yang mendiskriminasi perempuan termasuk perempuan yang berada dalam struktur politik yang dekat dalam pembuatan kebijakan untuk membantu mendukung dan memasukkan kepentingan perempuan. Sehingga, kesalahan dan kerugian yang terjadi dalam pembentukan UU Omnibus law dapat terhindari kedepannya serta kepentingan dan hak perempuan dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun