Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jalan Sunyi Pocut Meurah Pupok (Bagian Pertama)

15 Mei 2020   20:18 Diperbarui: 18 Mei 2020   04:23 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pocut Meurah Pupok (republika.co.id)

Lukisan Sultan Iskandar Muda (abulyatama.ac.id)
Lukisan Sultan Iskandar Muda (abulyatama.ac.id)

Akibatnya, terjadi pertentangan hebat dalam lingkungan istana Aceh, terutama menyangkut penetapan Sultan Aceh berikutnya pasca Iskandar Muda mangkat dari tampuk kekuasaan. Memang pertentangan itu sempat mereda setelah Iskandar Tsani, yang merupakan menantu Iskandar Muda berasal dari Malaysia, dinobatkan sebagai Sultan Aceh untuk menggantikan posisi ayah mertuanya. Akan tetapi, itu tidak bertahan lama karena Sultan Iskandar Tsani hanya mampu berkuasa selama 2 tahun.

Meski dikemudian hari, anak perempuan Sultan Iskandar Muda bernama Safiatuddin Taj' Alam berhasil menduduki tampuk kekuasaan Aceh setelah mendapat dukungan kuat, setidaknya dari dua ulama besar Aceh yaitu Nuruddin Ar-Raniry dan Abdurrauf As-Singkili atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syiah Kuala.

Kedua ulama besar Aceh itulah yang melanggengkan 4 perempuan Aceh (termasuk Safiatuddin) sebagai Sultanah yang memimpin Kerajaan Aceh Daruussalam nyaris selama 59 tahun lamanya secara berturut-turut pada abad ke 17 silam.

Gelar Sultanah merupakan sebuah gelar untuk merujuk pada pemimpin perempuan dalam pemerintahan muslim di Kerajaan Aceh Darussalam, sementara lak-laki mendapat gelar Sultan.

Dalam catatan sejarah Kerajaan Aceh Darussalam, beberapa perempuan bergelar Sultanah yang pernah memegang tampuk kekuasaan dan memimpin Kerajaan Aceh Darussalam, sebut saja seperti Sultahan Safiatuddin (1641-1675), Sultanah Nur Alam Naqiyatuddin (1675-1678), Sultanah Inayat Syah Zakiyat (1678-1688), dan Sultanah Kamalat Syah (1688-1699).

Hadirnya 4 Sultanah Aceh ini, tidak terlepas dari keterlibatan kedua ulama besar Aceh itu dalam menghadirkan kepemimpinan perempuan di Aceh sebagai Sultanah. Sehingga kepemimpinan perempuan bukanlah hal yang baru di Aceh, meski saat ini kehadirannya masih hilang dan belum terbangun dari tidurnya yang panjang.

**

Bunga dan pepohonan yang indah rupawan berjejeran rapi, dan kesan sunyi soal Pocut Meurah Pupok saya dapatkan sekaligus saat memasuki kompleks kerkhof di Banda Aceh.

Ketika memasuki komplek perkuburan Belanda itu, hal pertama yang akan menyambut kita adalah pemandangan daftar nama-nama orang yang gugur di medan pertempuran saat perang Belanda di Aceh meletus. Nama-nama itu diabadikan pada tembok pintu masuk gerbang utama Kerkhof bak gaya Eropa itu.

Kerkhof dan Makam Mayor Jenderal Kohler
Kerkhof dan Makam Mayor Jenderal Kohler

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun