Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Andai Aceh Punya Mahkamah Sejarah

11 Mei 2017   13:13 Diperbarui: 11 Mei 2017   19:05 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

Kita bisa menebak-nebak apa yang ada dibenak GAM yang sedang berkuasa hari ini: sejahterakan Rakyat Aceh. Tapi hal itu belum tersentuh ke semua lapisan masyarakat. Pasca MoU Helsinki, GAM fokus untuk membangun kembali Aceh yang porak-poranda pasca konflik serta dihantam mega musibah besar bernama gempa dan tsunami. GAM tentu ingin mengubah nasib Aceh. Tidak ada yang jauh lebih indah daripada menjadi pahlawan di era yang baru ini.

Dengan kekuatan politik yang dipunya GAM hari ini, semestinya untuk menjebolkan proyek mendirikan museum, monumen dan wisata sejarah disetiap kabupaten atau setidaknyanya di ibukota Aceh, bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Semestinya pula, mereka bisa mewujudkan hal itu disamping tetap fokus untuk mensejahterakan rakyat Aceh.

Tapi, memang tidak ada yang namanya “semestinya” dalam sejarah, apalagi dalam kehidupan ini. Pemerintah Aceh, dengan dikomandoi oleh dua pria yang pernah aktif di GAM dan didukung pula oleh kekuatan parlemen yang mayoritas dulunya juga GAM, tidak mampu menghadirkan museum, monumen dan wisata sejarah. Sebaliknya, kedatangan GAM di Pemerintah Aceh untuk menolak apa yang “semestinya” dan malah merobek-robek naskah sejarah mereka sendiri.

Saya tidak percaya, bahwa pembicaraan tentang mendirikan museum atau sebagainya yang berbau sejarah, tidak pernah disinggung dalam tubuh GAM sendiri. Hanya saja, hal itu tidak pernah mengemuka dipublik. Seingat saya, hanya Iskandar Usman Al-Farlaky (anggota DPRA dari Partai Aceh) yang secara terang-terangan mengemukakan ide untuk mendirikan Museum Hasan Tiro (Baca berita Serambi Indonesia edisi 19/08/2016). Selebihnya saya belum pernah mendengar kabar adanya pejabat Aceh mengemukakan ide serupa. Sehingga ide dari Iskandar itu pun meredup dan menghilang seiring berjalannya waktu. Semestinya (ya, lagi-lagi “semestinya”), ide dari Iskandar Usman Al-Farlaky itu bisa dieksekusi dengan mudah dan berakhir dengan kemenangan.

Kita kemudian hanya bisa membayangkan, bagaimana jika seandainya GAM berhasil menggunakan kekuatan politiknya di parlemen untuk mewujudkan romentisme sejarahnya. Kita juga hanya bisa membayangkan, bagaimana jika seandainya museum, monumen dan wisata sejarah telah dihadirkan pada hari ini. Bisa jadi, bakal ada banyak cerita indah bagaimana GAM akan dipuji karena mampu menghadirkan romentisme sejarahnya. Bisa jadi juga, akan banyak orang-orang berbondong-bondong datang ke Aceh untuk menengok masa lalu itu.

Bersamaan itu juga, jangan lupa bahwa akan ada kritikan yang datang terhadap masalah tersebut, baik dari Aceh sendiri maupun Pemerintah Pusat. Kritikan yang datang dari Aceh, mereka akan berdalih sebaiknya Pemerintah Aceh fokus terhadap ekonomi, sosial politik, pembangunan dan sebagainya. Sementara kritikan dari Pemerintah Pusat, sudah tentu mereka akan menggunakan dalih yang cukup klasik: Pemberontakan dan Sparatisme. Mereka akan sekeras mungkin untuk menggagalkan ide tersebut. Jadi, bakal ada dua kemungkinan jika ide menghadirkan romantis sejarah GAM terwujud: didukung dan dikritik.

Namun, dengan dirobeknya “naskah sejarah GAM” tersebut dan kemungkinan akan ada hujan kritikan, ide untuk mewujudkan romantisme sejarah GAM tersebut menjadi semakin rumit. GAM dan Aceh kembali diingatkan bahwa mereka punya PR besar. Santai saja, bukankah masih banyak waktu dan kesempatan untuk mendulang ide sejarah tersebut.

Setidaknya, dengan tidak adanya romentisme sejarah yang dihadirkan di tengah-tengah masyarakat hari ini, GAM harus berpir ulang apakah GAM akan dikenang untuk jangka waktu yang panjang di masa depan. Setidaknya lagi, kita yang sudah mencoba-coba membikin beberapa prediksi sejak dini, juga tahu bahwa apa yang ada di tikungan di depan sana, bisa jadi akan jauh lebih mengejutkan daripada apa yang kita bayangkan. Tapi GAM masih memiliki banyak jalan untuk mencatat prestasi Aceh yang gemilang.

Andai segala sesuatu selalu berjalan sebagaimana “mestinya”, GAM tentunya pasti telah menggunakan kekuatan politiknya untuk mewujudkan ide sejarah itu, GAM tentunya sudah mendirikan romantisme sejarahnya hari ini, dan GAM tentunya tidak perku mendengarkan kritikan dari Pemerintah Pusat karena mereka juga busuk.

Ya, seperti yang dituliskan diatas, seringkali apa yang kita ingin-inginkan malah meleset: GAM belum menghadirkan romantisme sejarahnya berupa museum, monumen dan wisata sejarah di Aceh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun