Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menceritakan (Ulang) Sejarah Lewat Fotografi (Bagian Kedua -- Selesai)

13 Maret 2017   10:13 Diperbarui: 13 Maret 2017   10:34 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image result for Chaerol Riezal


Oleh: Chaerol Riezal*

Kecuali untuk berselfie atau berfoto suka ria, saya selalu percaya bahwa fotografi itu tidak hanya urusan kesenangan mengambil gambar saja, tetapi jauh melampaui hal itu. Bagi saya, fotografi adalah sebuah keagungan untuk merekam sebuah peristiwa (sejarah). Ia juga dapat mengabadikan momen-momen yang tidak akan termakan oleh zaman. Meskipun ingatan manusia terbatas atau mungkin ingatan akan melupakan, dan manusia bisa saja ahistoris, tetapi tidak dengan fotografi. Bukankah sebuah karya fotografi bisa mengingatkan (kembali) hal-hal yang sudah dilupakan oleh manusia?

Seperti halnya yang saya percayai, bahwa fotografi terlalu agung jika hanya yang diabadikan itu soal keindahan saja. Saya beranggapan bahwa fotografi seharusnya adalah tindakan yang terjujur untuk mendokumentasikan sesuatu dan bukan sebaliknya. Maka apapun yang terlihat dalam fotografi atau gambar yang dipotret langsung, adalah memang seperti itulah kenyataan yang ada dan tak perlu seseorang untuk mengubahnya.

Ia (fotografi) bisa juga berupa: kegetiran yang kelam, kesedihan yang berlipat gandakan, dan luka yang begitu dalam yang (mungkin) tak tersembuhkan. Tapi barangkali itulah jalan yang ditempuh oleh seorang fotografer untuk mendokumentasikan sejarah dengan cara yang jujur dan tanpa polesan. Kegetiran dan kepedihan yang terbalut dalam sebuah peristiwa, musibah, bencana, dan tragedi sejarah serta hal-hal pahit lainnya merupakan bagian yang harus dipotret dalam sebuah fotografi, dan juga merupakan hal yang seharusnya tidak boleh dihindari untuk diabadikan. Tapi di sisi lain, saya tidak akan setuju dan akan mengecam jika hasil fotografi yang berisikan pembantaian umat manusia, disebarluaskan di media masa atau sosial media.

Baca juga : http://www.kompasiana.com/chaerolriezal/menceritakan-ulang-sejarah-lewat-fotografi-bagian-1-dari-2-tulisan_5889dfa9d77a61f71273475e

Seperti yang berulangkali saya katakan, fotografi dapat menyampaikan sebuah pesan bahwa sepahit dan segetir apapun peristiwa sejarahnya, harus didokumentasikan dan disampaikan kepada khalayak agar tidak terulang di masa depan. Dan tentu saja, momen-momen getir dan kelam yang diabadikan lewat fotografi itu adalah sesuatu yang pahit untuk kehidupan yang lebih manis di masa yang akan datang, atau paling tidak untuk sebuah pelajaran berharga.

Pesan-pesan yang disampaikan lewat fotografi adalah sebagai pengingat bagi manusia agar tidak melupakan masa lalu, dan agar (selalu) senantiasa merefleksi untuk melihat masa lalu guna berpijak untuk masa saat ini dan masa yang akan datang. Anda tentu sudah tahu, diluar sana ada bagitu banyak foto-foto yang tanpa pulasan sangat menghentak hati, mengiris sanubari, dan menggugah hati nurani. Karena itulah, fotografi tidak hanya soal untuk urusan kesenangan saja atau mengambil gambar yang indah-indah saja. Tetapi, ia juah lebih dari itu.

Teuku Umar: Minum Kopi di Meulaboh atau Syahid

Beungoh singoh geutanyo jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid (besok pagi kita akan minum kopi di kota Meulaboh atau aku akan syahid), begitulah sepengkal kata-kata mutiara yang diucapkan oleh Teuku Umar yang di abadikan dalam prasasti Desa Meugo, Meulaboh (Aceh Barat), pada akhir perjuangannya. Ucapan yang dilontarkan oleh Teuku Umar tersebut, menunjukkan bahwa tekadnya untuk berjuang membebaskan kota Meulaboh atas kehadiran Belanda, meskipun nyawa menjadi taruhannya.

Sosok Teuku Umar yang sangat menentang keras kehadiran Belanda di bumi Serambi Mekkah (julukan Aceh) ini, ternyata begitu mengilhami pelukis Basoeki Abdullah, sehingga menimbulkan kekaguman yang begitu mendalam di hatinya akan sosok Teuku Umar yang juga merupakan suami dari pejuang Aceh lainnya, Cut Nyak Dhien. Sejak kecil, Basoeki Abdullah memang sangat mengidolakan pejuang-pejuang yang telah berjuang untuk membebaskan Indonesia dari cengkraman penjajah. Kekagumannya tersebut yang lantas nantinya dituangkan dalam kanvas, seperti keahliannya yang selama ini ditekuni dan mendapat pengakuan oleh kebanyakan orang atas karya-karya Basoeki Abdullah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun