Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menceritakan (Ulang) Sejarah Lewat Fotografi (Bagian 1 dari 2 Tulisan)

26 Januari 2017   18:38 Diperbarui: 26 Januari 2017   19:11 1265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image result for Chaerol Riezal

Setelah ekskursi ke candi-candi tersebut, peserta BYF 2016 meluncur ke Museum Benteng Vredeburg di Yogyakarta. Sesampai disana, kami diberikan beberapa penjelasan oleh tuan rumah dan kemudian kami dipersilahkan untuk menengok seisi dan koleksi yang terdapat di museum tersebut.

Sebagai kawasan yang berdekatan dengan pusat pembelanjaan di jalan Malioboro, bangunan musuem itu terlihat seperti huruf (leter) U, dan dipadukan dengan desain bangunan yang bernuansa tempo doeloe. Saya memanfaatkan momen ini. Tetapi tidak lama setelah melihat beberapa koleksi foto sejarah, dan karena merasa kelelahan selama dalam kegiatan serta perjalanan field trip ke situs sejarah, saya pun beristirahat sejenak.

Awalnya, suasana sore itu tampak seperti biasa-biasa saja, dan tentunya ramai dikunjungi oleh orang. Namun, tak lama setelah itu, terjadilah sebuah adegan yang tadinya saya anggap biasa-biasa saja, ternyata mampu membuat saya tersenyum dengan sendirinya.

Saat kejadian itu berlangsung, saya sedang duduk sambil beristirahat dengan teman-teman BYF lainnya. Dari jarak tempat duduk itu, saya melihat satu keluarga; papa, mama dan dua buah hati putri kesayangannya yang sedang mengunjungi museum tersebut. Dua putri yang berpakaian biru dan merah itu sedang menunjuk ke foto sejarah yang sedang mereka lihat. Sementara si papa dan mamanya membalas dengan berbagai ucapan (yang mana saya tidak tahu entah jawaban apa yang mereka berikan untuk buah hatinya).

Saya terbangun dari lamunan dan renungan. Inilah yang membuat saya beranjak dari tempat duduk dan menolak untuk melanjutkan waktu istirahat. Kemudian, karena saya dibuat penasaran oleh keluarga itu, saya putuskanlah untuk mengikuti mereka dari belakang. Guna menghilangkan rasa penasaran yang mengindap di pikiran saya, kali ini saya harus berpura-pura bertindak layaknya seorang detektif atau intel gadungan.

Saya terus membuntuti mereka dari jarak yang tidak terlalu jauh. Hingga beberapa menit berlalu, nyaris tak ada kata sepatah pun yang keluar dari mulut mereka semua. Mereka hanya fokus memandang dari satu foto ke foto berikutnya. Saya masih bersemangat untuk mengikuti mereka. Momen yang saya lihat dari tempat duduk tadi sebelum saya mengikuti mereka, akhirnya kembali terjadi.

Momen itu dimulai dari putri yang memakai gaun warna biru (kelihatannya itu si kakak), ketika ia kembali menunjuk ke sebuah foto dan melayangkan pertanyaan kepada papanya: “Pah, bagaimana dengan foto ini?” Sambil mendekati wajah ke arah foto itu (mungkin sedang membaca keterangan foto) yang ditunjuk oleh putrinya, papanya pun menjawab dengan lihai. Sementara mama dan kedua putrinya, tampak tersenyum mendengar jawaban dari papanya.

Mereka terus berjalan, tapi kali ini dengan cara yang sangat romantis: si papa memegang tangan putri yang bergaun biru dengan lembut, sementara si mama juga tak mau kalah ikut memegang tangan buah hatinya yang berbaju merah dengan mesra. Sedangkan saya, tampak kelihatan bodoh yang terus mengikuti jejak mereka.

Sampai pada foto Keraton Yogyakarta, saya terkejut saat mereka menghentikan langkah kaki. Putrinya yang berbaju merah (mungkin ini si adik, dan semoga saya tidak salah), memandang foto itu dengan sangat dingin. Bola matanya terus menantap ke arah foto itu. Sesekali ia memiringkan kepalanya. Sementara papa, mama dan si kakak, juga sedang memandang dan membaca keterangan foto yang sedang mereka lihat.

Lalu, apa yang terjadi? Putri yang memandang foto Keraton Yogyakarta itu, tiba-tiba saja menebar senyuman lewat bibirnya yang anggun. Sadar bahwa ia penasaran akan foto itu, dengan cepat ia langsung mencolek papanya dan bertanya: “Pah, kenapa Yogyakarta punya keraton? Apakah di daerah lain juga punya, pah?” Si kakak sepertinya tidak senang dengan pertanyaan si adik. Ia langsung memprotes pertanyaan tersebut. Namun, si adik tetap bergeming pada pertanyaannya. Lalu si adik mengadu kepada papanya. Pada saat bersamaan juga, papa dan mamanya tampak tersenyum melihat tingkah lelucon kedua buah hati putri kesayangan mereka. Saya pun ikut tersenyum sendiri.

Menurut saya, selembar (atau sebingkai) foto sejarah yang dipajang di museum mengandung pesan simbolik yang menuntut “pembacanya atau pengunjung” menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun