Mohon tunggu...
Farah Anshori
Farah Anshori Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti Kekinian

Kandidat Doktor. Masih perlu banyak belajar. Berusaha mendengar sebanyak-banyaknya untuk diolah dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Omnibus Law dan Invasi Tenaga Asing

7 April 2020   23:39 Diperbarui: 7 April 2020   23:40 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah demam Covid-19, jangan lupa bahwa kita memiliki banyak pekerjaan lain yang tetap harus diawasi. Salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cika), yang juga disebut dengan Omnibus law ciptaker.  Sebagaimana diketahui, omnibus law bagaikan undang-undang sapu jagat, yaitu undang-undang yang mengatur semuanya. 

Bagi yang sukar memahami apa itu omnibus, ingat saja minibus yaitu sebuah kendaraan yang dapat memuat banyak penumpang. Semua macam peraturan perundang-undangan masuk dalam satu peraturan baru. Isinya bisa merevisi, menghapus atau menambah hal-hal baru.

Dalam draft yang diajukan pemerintah, Omnibus law ciptaker memuat 1.244 pasal yang berasal dari 79 UU, mencakup 11 klaster. Di antara klaster yang cukup sensitif adalah persoalan ketenagakerjaan. Dalam klaster ketenagakerjaan ini, ada juga banyak persoalan seperti soal jaminan perlindungan kerja, jaminan kesejahteraan atau pendapatan serta jaminan sosial.

Tulisan ini tidak akan membahas seluruh persoalan dalam klaster ketenagakerjaan, melainkan fokus pada satu isu saja yaitu jaminan perlindungan kerja atau job security terkait mudahnya pekerja asing masuk ke dalam negeri. Dalam RUU ini, ada beberapa aturan yang dinilai mempermudah masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia. Aturan tersebut termaktub dalam pasal 89 yang materinya:

  • Mengubah pasal 42, 45 dan 47 UU/2003 tentang Ketenagakerjaan; dan
  • Menghapus ketentuan pasal 43, 44 dan 46 UU/2003 tentang Ketenagakerjaan. 

Dengan aturan tersebut, para tenaga kerja atau buruh merasa jaminan mereka terkait pekerjaan mendapatkan ancaman karena tergusur oleh tenaga kerja asing (TKA). Investor dari negara A misalnya, tentunya akan lebih memilih atau memprioritaskan tenaga kerja yang berasal dari negaranya karena faktor kesamaan budaya, bahasa dan juga keahlian (skill) serta pengetahuan. 

Sehingga dengan demikian, investasi yang dimaksudkan untuk menciptakan lapangan kerja hanya menjadi hiasan akuarium yang begitu indah tetapi tidak bisa dimasuki oleh para pencari kerja Indonesia. Jadinya, negara ini akan diinvasi oleh TKA, menjadi lahan lapangan kerja bagi orang asing. 

Beberapa aktivis buruh mengatakan aturan ini dinilai mempermudah masuknya TKA dengan tidak perlu lagi izin tertulis dari menteri atau pejabat terkait. Persyaratan administrasi yang dibutuhkan hanya rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA). Sementara syarat administrasi lainnya sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 20 Tahun 2018 seperti visa tinggal terbatas (VITAS), izin menggunakan tenaga kerja asing (IMTA) dihilangkan. Dan semua lapangan pekerjaan dapat diisi oleh orang asing, mulai dari pekerja kasar hingga pengambil kebijakan.

Demikian juga lahan start-up terhalangi oleh TKA. RUU Cipta Kerja dikhawatirkan membuat generasi milenial susah mendapatkan pekerjaan di masa depan. Pasal 42 soal syarat rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dikecualikan untuk startup. Startup yang digadang-gadang dapat membuka lapangan kerja yang banyak ternyata hanya akan menjadi lahan pekerjaan bagi orang asing, bukan generasi milenial Indonesia.

Pada akhirnya, membanjirnya TKA hanya akan melahirkan segregasi kelas pekerja dimana kelas satu adalah TKA yang didatangkan untuk bekerja di bagian high skill, sementara kelas dua adalah pekerja pekerja yang nasibnya tak pasti.

Pertanyaannya, benarkah kekhawatiran atau asumsi tersebut?

Pertama, dalam praktek industri atau lapangan kerja, kerap ditemukan kendala teknis yang hanya bisa ditangani oleh orang yang memiliki keahlian khusus. Sayangnya, tenaga dengan keahlian khusus itu bukan tenaga kerja Indonesia; atau tenaga ahli dari Indonesia masih sangat terbatas jumlahnya. 

Apabila mesin di pabrik mengalami masalah, untuk mendatangkan ahli yang memang paham kepengurusannya bisa mencapai berbulan-bulan, sementara produksi tidak boleh berhenti. Ketika mesin mati, otomatis pabrik tidak bekerja. Itu adalah sebuah kerugian besar. Peraturan dalam omnibus tidak diperuntukkan bagi seluruh TKA melainkan untuk TKA dengan skill khusus dimana proses kedatangan mereka menjadi lebih mudah perizinannya.

Kedua, ada beberapa skill, khususnya di bidang industri teknologi digital atau startup, di mana SDM atau tenaga kerja di Indonesia yang menguasainya belum cukup banyak. Sehingga mengandalkan tenaga kerja Indonesia sangat tidak mungkin. Atau ada beberapa posisi strategis yang hanya dapat diisi oleh orang dari negaranya karena menyangkut kerahasiaan. Dalam hal ini, perlu ada kebijakan penyederhanaan birokrasi yang mempermudah para ekspatriat untuk dapat bekerja.

Ketiga, RUU Cika juga tetap mewajibkan pemberi kerja tenaga asing wajib menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing (Pasal 89 ayat 4). Pemberi tenaga kerja asing juga wajib melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing.

Keempat, dengan demikian kekhawatiran bahwa RUU Cipta Kerja akan melahirkan invasi tenaga kerja asing di Indonesia tidaklah perlu diperpanjang. RUU ini dilahirkan untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak 2,7-3 juta per tahun. Dan lapangan kerja itu tentunya disediakan untuk masyarkat Indonesia, bukan warga asing. Caranya adalah mempermudah regulasi bagi investasi asing untuk masuk ke Indonesia.

Terakhir, RUU ini juga bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia di mana targetnya, pendapatan masyarakat Indonesia (yang sekarang rata-rata 4,6 juta per bulan) menjadi Rp. 6,8-7 juta di tahun 2024, menuju Rp. 27 juta pada tahun 2045. Jadi kekhawatiran rakyat Indonesia menganggur karena banyaknya posisi pekerjaan diisi oleh orang asing, sangat tidak beralasan jika melihat target peningkatan pendapatan rakyat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun