Internet dan media sosial adalah kecanggihan teknologi yang begitu akrab dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Harga perangkat pintar dan tarif koneksi internet yang semakin murah serta diimbangi oleh kemudahan dan kekayaan fitur yang dapat digunakan tentunya membuat keduanya tidak diterpisahkan dalam kehidupan di negeri ini.
Data pengguna media sosial
Durasi ini cukup panjang, sekitar 39% dari rata-rata waktu akses internet selama delapan jam 44 menit berdasarkan data yang disebutkan oleh Dirjen Aplikasi dan Informatika pada akhir 2017. Aplikasi medsos yang paling banyak diunduh adalah WhatsApp, Facebook, Instagram, dan LINE. Dengan pengguna sebanyak itu, kita menempati peringkat ketiga pengguna Facebook, peringkat keempat pengguna Instagram, dan peringkat ke-12 pengguna Twitter.
Pencarian informasi oleh warganet Indonesia dan penyebaran hoaks
Data Kominfo bulan Desember 2017 menyatakan bahwa delapan ratus ribu situs di Indonesia menyebarkan berita bohong alias hoaks. Data milik Provetic dan Republika pada akhir 2017 menunjukkan bahwa bidang sosial-politik (91.8%) dan SARA (88.6%) merupakan dua bidang yang paling banyak dihujani hoaks. Hoaks berakibat negatif bagi korbannya. Ketika hoaks dialamatkan kepada pebisnis atau pedagang, omset mereka bisa turun. Ketika hoaks dialamatkan kepada individu atau kelompok, reputasi dan nyawa mereka terancam.
Bila Aku Jadi Menag
Seorang Menteri Agama tentunya perlu memerhatikan dengan baik adanya hoaks di masyarakat. Ketika sebuah hoaks menyasar masalah sosial, politik, atau ekonomi, bisa jadi hoaks tersebut memprovokasi pembacanya dengan membawa-bawa isu agama.Â
Pembaca yang bijak tentu akan tahu bahwa perilaku individu atau kelompok tidak dapat dipandang sebagai perilaku seluruh umat yang beragama sama dengannya, tetapi bagaimana dengan yang tidak?Â
Hal ini mengancam kerukunan antarumat beragama di negara kita. Berbeda dengan penegak hukum yang memandang hoaks dari sisi penegakan peraturan, seorang menteri agama akan menggunakan pendekatan religius dan humanis untuk menyelesaikan masalah ini.
Renungan hati
Saya akan mengajak masyarakat baik secara pribadi maupun melalui para pemuka agama dan tokoh masyarakat untuk merenungkan dan memahami pernyataan berikut. Sang Pencipta membentuk dunia ini dengan manusia yang begitu beragam dan keberagaman itu diciptakan untuk memperkaya kebaikan dalam hidup manusia itu sendiri sehingga pada hakekatnya harus dipandang baik adanya.Â
Termasuk pula dengan agama, semua agama yang ada dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa mengajarkan kebaikan universal, bukannya sibuk memperjuangkan kehidupannya masing-masing. Perilaku seseorang atau sekelompok orang beragama tertentu yang salah adalah kesalahan pribadi mereka, bukan kesalahan yang ada pada seluruh umat beragama tersebut.Â
Manusia yang beragam ini tentunya saling membutuhkan sehingga sudah seharusnya mereka hidup dengan rukun tanpa perlu saling membedakan dan memermasalahkan perbedaan di antara mereka.Â
Sebagai makhluk yang berakal budi, sudah seharusnya manusia menggunakan pikirannya dengan baik dan jujur untuk menyebarkan berita baik, bukan malah membuat dan/atau menyebarkan hoaks yang sama saja negatifnya dengan fitnah. Ketika kita membuat dan/atau menyebarkan hoaks, kita telah berbuat dosa, paling tidak berupa melancarkan fitnah sekaligus menghancurkan kehidupan sasarannya.Â
Tidakkah kita kasihan dengan sesama kita? Jika kita memiliki masalah dengan dia atau mereka, selesaikan baik-baik dan jangan simpan rasa benci. Jika sasaran kita memiliki kesalahan, fokuslah pada kesalahannya dan bukan menghancurkan reputasinya melalui hoaks dengan mendistribusikan ujaran kebencian atau informasi yang tidak benar tentang dirinya.Â
Menyebarkan hoaks dan/atau ujaran kebencian berarti kita telah menggunakan hidup yang diberikan oleh Sang Pencipta dengan cara yang salah dan sesungguhnya kita memiliki penyakit dalam pikiran kita.
Permasalahannya, bagaimana dengan menyebarkan berita hoaks ketika pelakunya seringkali tidak menyadari? Memang perilaku tersebut tidak disengaja, tetapi jika bisa dihindari, mengapa tidak?
Literasi media
Kedua, kita harus memastikan informasi tersebut memenuhi kriteria sebagai fakta dan memiliki data yang akurat, bukan bersifat opini dan karangan belaka. Ketiga, kita harus mengecek apakah informasi ini benar dengan melihat sumber lain dan membandingkan informasi yang ada di sana terhadap informasi yang kita terima.Â
Keempat, kita harus memastikan bahwa jika informasi yang kita terima memenuhi tiga kriteria sebelumnya dan penting untuk disebar, pastikan tulis sumbernya dan jangan menambahkan atau mengurangi konten yang ada.Â
Kelima, jika kita menemukan konten tersebut adalah hoaks, kita tidak boleh menyebarkannya sebagai berita, tetapi memberitahukan bahwa informasi tersebut tidak benar sebagai klarifikasi di masyarakat dan melaporkannya kepada pihak terkait. Keenam, kita harus memahami konsekuensi jika mengabaikannya dan tetap menyebarkan berita hoaks.Â
Kita telah membiarkan kebohongan merajalela, bisa jadi sedang menghancurkan kehidupan orang lain, dan melakukan pelanggaran hukum. Pendidikan seperti ini pernah saya terima di pelajaran Bahasa Indonesia semasa SMP dan SMA, tetapi bagaimana dengan mereka yang hanya tamatan SD atau bahkan tidak pernah bersekolah?Â
Bila saya menjadi Menag, saya akan bekerja sama dengan Kemendagri dan Kemensos untuk meminta bantuan tokoh masyarakat di setiap daerah untuk memberikan pendidikan literasi media ini kepada warganya. Melakukannya tentu tidak sulit dan waktunya pun tidak lama, terlebih lagi kecepatan internet dan tarifnya di Indonesia saat ini sudah tergolong cukup baik.
Rehabilitasi pelaku dan korban
Dua sisi lain yang harus diperhatikan adalah korban hoaks dan pelaku hoaks yang telah menerima penindakan hukum. Pertama, korban hoaks perlu menjalani pemulihan kondisi psikologis dan saya akan meminta bantuan psikolog serta pemuka agama untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik sampai trauma yang dimiliki oleh korban hilang.Â
Pada intinya, korban harus bisa memaafkan pelaku, menerima kenyataan yang ada, membuang rasa trauma dalam dirinya, dan memiliki semangat baru untuk melanjutkan hidup.Â
Nama baiknya pun perlu direhabilitasi oleh tokoh setempat sehingga masyarakat dapat menerimanya dan memandangnya dengan benar. Kedua, pelaku hoaks juga perlu menjalani pemulihan kondisi psikologis bersama psikolog dan pemuka agama.Â
Mereka perlu menyadari kesalahan mereka dan dampaknya kepada korban, memaafkan dirinya sendiri dan mau bertobat, mampu mengendalikan diri dan menyelesaikan masalah dengan cara yang tepat, serta bertekad untuk menggunakan sisa hidupnya dengan lebih baik, bijaksana, dan bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun sesamanya di masyarakat.Â
Untuk mewujudkan hal ini, saya sebagai Menag (andaikan) perlu bekerja sama dengan organisasi keagamaan di Indonesia dan juga Kemenkumham dalam menyediakan tenaga yang berkompeten dan menyusun teknis pelaksanaannya.
Kesimpulan
Demikianlah opini dan pengandaian saya untuk menyelesaikan masalah hoaks seandainya saya dipercaya menjadi Menteri Agama di negeri ini. Marilah kita wujudkan kehidupan yang jujur, apa adanya, rukun, dan bahagia untuk mencapai tujuan nasional dan menciptakan dunia yang indah sesuai keinginan Sang Pencipta. Semua itu bisa terjadi jika kita senantiasa menyebarkan berita baik dan menyingkirkan berita hoaks dalam hidup kita, tentunya dengan penuh kemanusiaan dan kebijaksanaan.