Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Analis aktuaria - narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan / Email: cevan7005@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Restorasi Lahan Gambut Indonesia untuk Kita dan Lingkungan

15 Juli 2017   23:37 Diperbarui: 16 Juli 2017   11:34 4899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia memiliki 14,9 juta hektar lahan gambut yang memiliki berbagai fungsi, meliputi penambat karbon, indikator perubahan iklim, membantu rekonstruksi gambaran ekologi di masa lalu, sampai sumber energi. Ironisnya, lahan gambut justru dikonversi untuk kepentingan lain dengan cara yang tak seharusnya, yaitu dibakar. Ini terjadi setiap tahunnya, menghasilkan kerugian tidak hanya bagi masyarakat sekitar tetapi juga merembet sampai ke negara tetangga.

Statistik : www.pantaugambut.id
Statistik : www.pantaugambut.id
Pada tahun 2015, luas lahan yang terbakar adalah 32 kali luas Jakarta dan 52% di antaranya adalah lahan gambut. Bukan menambat karbon, emisi yang dihasilkan setara emisi 2500 pabrik batu bara dan mengantarkan Indonesia sebagai emiter gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia. Belum lagi melihat kerugian yang ditimbulkan saat itu mencapai Rp220 triliun, belum termasuk penyakit pernapasan di masyarakat, kegiatan terganggu, dan punahnya keanekaragaman hayati. Tahun 2016, perjalanan cukup menyenangkan dengan luas lahan terbakar yang menyusut hanya tinggal 10,91% (dari 891.275 hektar ke 97.787 hektar, menurut keterangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Kompas.com). Akan tetapi, apa kabar lahan yang sudah terbakar, apakah didiamkan begitu saja?

Masyarakat dan lingkungan begitu membutuhkan restorasi lahan gambut untuk mengembalikan fungsinya ke semula dan menghadirkan sumber penghidupan bagi makhluk hidup.

  • Berbagai spesies flora dan fauna (termasuk mereka yang sudah langka) mendapatkan tempat tinggal yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan mereka sehingga keanekaragaman hayati terjaga. Beberapa contoh di antaranya adalah ramin, keluarga meranti, kempas, kantung semar, beruk, kokah, dan buaya sinyulong.
  • Daya menahan air yang tinggi hingga 13 kali lipat dari bobotnya mampu menyangga hidrologi area di sekelilingnya. Dengan demikian, air dapat tersimpan tanpa perubahan keasaman yang signifikan dan sudah melalui penyaringan dari limbah berbahaya secara alami untuk kebutuhan masyarakat dan banjir dapat dicegah.
  • Lahan gambut mampu menambat karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer. Lahan gambut di Indonesia mampu menyimpan karbon setara emisi 17-33 miliar mobil pribadi setiap tahunnya. Karbon ini disimpan baik di atas maupun di bawah permukaan tanah sehingga dapat dimanfaatkan kemudian sebagai sumber energi. Konsekuensinya, ini harus benar-benar dijaga sehingga tidak terbakar dan tidak mencemari atmosfer, potensi pencemarannya hingga 45% emisi gas rumah kaca total.
  • Lahan gambut yang terjaga memberikan kelancaran pada masyarakat dengan pekerjaan di hutan, yaitu beternak, berladang, berburu, menangkap ikan, dan memanfaatkan produksi kayu. Misalnya, menanam sengon bisa memberikan keuntungan mencapai Rp200 ribu untuk satu pohon. Dengan niat dan tekad yang kuat, melakukan agroforestri sambil menanam sengon bisa memberikan keuntungan hingga Rp11 juta per bulan, jauh lebih besar dibandingkan menjadi buruh pabrik di Jakarta.

Ilustrasi : www.majalah1000guru.net
Ilustrasi : www.majalah1000guru.net
Bagaimana bisa mewujudkan kembali lahan gambut yang sehat dan bermanfaat bagi Indonesia? Presiden kita, Bapak Joko Widodo, membentuk lembaga nonstruktural bernama Badan Restorasi Gambut (BRG) berlandaskan Peraturan Presiden RI Nomor 1 Tahun 2016 demi mewujudkan target 2 juta hektar restorasi lahan gambut pada 2020. 

Mengingat kebutuhan dana yang tinggi (Rp30 juta per hektar lahan yang direstorasi), BRG membutuhkan keterlibatan pihak swasta dan masyarakat untuk ikut bergerak di tujuh provinsi : Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Papua. Restorasi ini tidak dilakukan secara asal-asalan, tetapi didukung dengan rancangan yang berkelanjutan dan riset pendukung sehingga hasilnya optimal dan tidak menimbulkan masalah baru bagi masyarakat sekitar.

Foto : www.infosawit.com
Foto : www.infosawit.com
Pertama, lahan dibasahi kembali (rewetting) dan dibangun infrastruktur pendukung (penyekat lahan, embung, penyemprot secara manual, dan sumur bor) sehingga kelembaban senantiasa terjaga tanpa ada air yang mengalir ke tempat lain. Hal ini akan mendukung revegetasi ketika vegetasi alami yang sebelumnya ada di lahan tersebut kembali tumbuh dengan sendirinya. Misalnya, tumbuh kembalinya pohon gelam di lahan gambut yang pernah terbakar di Desa Gohong, Kalimantan Tengah. Memang mustahil mendapatkan kondisi lahan yang 100% sama dengan aslinya, tetapi paling tidak bisa menyerupai aslinya sudah sangat baik dibandingkan terlantar begitu saja.

Foto: antaranews.com
Foto: antaranews.com
Vegetasi alami memang bisa dimanfaatkan, misalnya sang pohon gelam. Daunnya bisa diolah sebagai bahan pembuatan minyak kayu putih dan batangnya bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Akan tetapi, akan lebih baik lagi jika lahan ini bisa dimanfaatkan secara maksimal bersamaan dalam kerangka perhutanan sosial. 

Sejumlah lahan yang layak untuk diikutsertakan boleh diolah oleh masyarakat dengan tujuan menjaga kondisi lahan dan meningkatkan hajat hidup mereka. Lahan dijadikan media tanam, dijaga tinggi muka airnya sehingga senantiasa basah, dan ditanami tanaman pangan yang tak mudah terbakar serta tak merusak lahan (species adjustment), misalnya jagung, sagu, dan sayur-sayuran. Selain menjadi media tanam, lahan ini juga bisa dimanfaatkan untuk beternak, misalnya kegiatan peternakan sapi Bali di Kabupaten Pulau Pisang, Kalimantan Tengah.

Screenshot : www.pantaugambut.id
Screenshot : www.pantaugambut.id
Setelah mempelajari dan memahami pentingnya restorasi gambut serta langkah melakukannya, kita perlu memantau komitmen pihak-pihak yang terlibat, melihat aktivitas dan wilayah yang direstorasi dalam peta, dan membagikan cerita terkait kepada masyarakat. Pantau gambut tidak harus dengan mendatangi setiap provinsi yang menjadi target, tetapi bisa dilakukan secara kolaboratif tanpa mengeluarkan biaya besar melalui media online yaitu #PantauGambut. Ini kembali lagi ke masalah kepedulian, apakah kita peduli atau tidak terhadap masa depan lahan gambut di negara kita.

Foto: pantaugambut.id
Foto: pantaugambut.id
Melihat apa yang sudah berjalan, tahun lalu BRG sudah melakukan restorasi 200.000 hektar lahan. Infrastruktur yang telah dibangun meliputi 15.615 sekat kanal, 2.581 embung, dan 516 sumur bor. Semua upaya ini mendapat apresiasi dari dunia di mana Riau menjadi salah satu contoh restorasi gambut terbaik dan beberapa negara anggota PBB datang ke sana untuk meninjau. Mereka kagum dengan kemampuan bangsa kita menerjemahkan upaya ini dengan baik. Lebih membanggakannya lagi, jika target 2 juta hektar berhasil, emisi gas rumah kaca akan berkurang sebesar 7,8 gigaton CO2, setara emisi gas rumah kaca selama setahun di Amerika Serikat atau emisi 6 miliar mobil pribadi per tahun.

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun