"Putrinya Ibu Aah Bakir ya," begitu setiap saya bertemu dengan teman-teman ibu. Ibu adalah seorang ibu rumah tangga, istri dari seorang dokter, yang wafat tahun 1992. Tapi, jangan tanya aktivitasnya, jawaban saya adalah segudang. Setiap malam, saat setiap ibu lain menceritakan dongeng timun mas, kisah kancil dan buaya, atau berbagai kisah legenda fabel lainnya, maka ibu bercerita tentang kegiatan sejak kecil.Â
Sejak kecil, ibu adalah aktivis organisasi. Sebut saja mulai kepanduan di jaman sekolah dasar, hingga menjadi staf di MPR Â serta aktivis angkatan 66 saat beliau menjadi mahasiswa di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Â Begitu menikah, ibu memutuskan berhenti bekerja, memilih mengasuh kami anak-anaknya. Apakah kegiatan beliau berhenti, jawabannya adalah tidak.Â
Sejak menikah, ibu yang memang tidak dapat diam, selalu punya kegiatan. Kegiatan beliau tentunya bukan bekerja di kantoran atau mencari nafkah, tetapi lebih pada kegiatan sosial di lingkungan tempat tinggal kami. Sebut saja kegiatan PKK mulai tingkat RT sampai kecamatan, posyandu, hingga pengajian rutin beliau ikuti. Tetapi hebatnya, semua urusan rumah tangga diselesaikan dengan baik.Â
Saya ingat, ibu adalah penjahit paling modis, koki paling enak, mengajar mengaji, juga menjadi asisten untuk ayah kami. Saat yang paling spektakuler adalah peringatan hari besar nasional, baik Hari Kemerdekaan 17 Agustus, Hari Kartini, Hari Sumpah Pemuda, ibu menjelma menjadi koreografer bagi penampilan anak-anak, termasuk saya tentunya. "Nostalgia saat ibu kecil. Dulu ibu sering tampil  di RRI, diajak kakek kamu waktu ibu kecil", begitu yang disampaikan ibu pada saya. Maklum anak pertama, jadi semua ya jatuhnya ke saya.Â
Belum lagi saat kami mendapatkan tugas prakarya. Jaman dulu, mata pelajaran prakarya merupakan mata pelajaran bergengsi, karena bukan hanya anak-anak saja yang tampil, tetapi ibu-ibu juga. Semua kreativitas ditumpahkan untuk menghasilkan masterpiece. Pokoknya hasil kerajinan harus paling baik di kelas. Yang dikejar bukan hanya nilai baik, tetapi juga prestige. Kalau hasilnya bagus, berarti ibu sangat memperhatikan tugas anaknya. Berkat prakarya itulah, saya masuk tim LT Pramuka saat SMP dan hasilnya masuk di tingkat Nasional. Keren kan, hihihi, padahal idenya adalah membuat lampu cempor dengan menggunakan gelas, kawat, kapas dan minyak kelapa.Â
Berbagai kreativitas yang ibu miliki membantu kondisi ekonomi kami saat ayah sakit di tahun 1987. Ibu kemudian membantu ekonomi keluarga denan membuat kue, mengajar bahasa inggris, mendirikan lembaga pendidikan dan menjadi penterjemah. Hingga ayah wafat di tahun 1992, dalam kondisi ibu tidak bekerja, sedangkan saya baru kuliah semester II.Â
Masih ada 3 orang adik yang duduk di bangku SMA, SMP dan SD. Ibu tidak habis akal, walau harus bekeliling menjual mustopa (sambel goreng kentang kering khas Ciamis), sambil membuka layanan antar sembako semua dilakukannya. Hingga saya lulus, kuliah dan menikah, disusul adik-adik.Â
"Ibu sakit kalau harus di rumah," begitu selalu yang disampaikan. Hingga akhirnya sebuah ajakan menjadi konselor di P2TP2 Kota Bandung tahun 2002 masuk melalui telpon. Kami senang melihat ibu bahagia. Begitulah, kebahagiaannya adalah dapat berbagi dengan orang lain. HIngga akhirnya hadir kesempatan untuk melanjutkan kuliah S1, ibu mengambil jurusan Administrasi Negara, di STIA Bandung dan lulus 3,5 tahun dengan Cum Laude. Ya Allah, anak-anaknya satupun tidak ada yang Cum Laude. Dan kami hanya meringis, saat ibu dengan bangga memperlihatkan ijazahnya.Â
Kami memiliki contoh nyata, bagaimana seharusnya menjadi seorang istri yang setia bagi suami, manager rumah tangga yang handal, dan ibu terbaik bagi anak-anak. Semua yang beliau lakukan membuat kami pun juga harus dapat memberi prestasi dan nama baik bagi anak-anak kami.