Mohon tunggu...
Tarmizi Bustamam
Tarmizi Bustamam Mohon Tunggu... Insurance Loss Adjuster -

Anggota alumni IKESMA Payakumbuh dan IKANED (Ikatan Alumni Nederland). Bekerja sebagai Insurance Loss Adjuster.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Stigma Belanda di Ranah Minang

5 Agustus 2015   15:31 Diperbarui: 27 Oktober 2015   10:24 2386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Catatan : Pada zaman kolonial dulu Belanda selalu menyebut orang Minang sebagai Maleier (Melayu).

Hampir semua janji-janji manis dan muluk-muluk yang tertera pada Plakat Panjang tersebut tidak ditepati/dilanggar oleh Pemerintah Hindia Belanda. Salah seorang mantan residen Sumatera Barat bernama Kooreman (1900) berkomentar bahwa Belanda tak usah ribut-ribut, mengenai Plakat Panjang, karena rakyat toh tidak mengetahui isinya. Namun, bagi masyarakat Minang akhirnya beranggapan bahwa orang-orang Belanda  tidak lebih dari ular yang besar, Ini terlihat pada dua “takok taki” (teka-teki) anak-anak Minang Djadoel (abad ke 19)  yang saya kutip dari ” Midden-Sumatra: Volksbeschrijving van Midden-Sumatra, door A. L. van Hasselt, 1881”

“Sagadang-gadang ula, ula a nan gadang? Apo itu, kok iyo ? (Sebesar-besarnya ular, ular apa yang besar ?. Apa itu, ya ?)

Jawab : Ulando (Ulando adalah kata lain dalam bhs. Minang untuk “Balando” yang berarti Belanda)

“Sagadang-gadang kuman, kuman a nan gadang ? Apo itu, kok iyo ? (Sebesar-besarnya kuman, kuman apa yang besar ?. Apa itu, ya ?)

Jawab Kumandua (berasal dari bhs. Perancis “commandeur, kata “mandor” berasal dari kata ini). Catatan: Commandeur adalah pejabat kolonial Hindia Belanda yang paling rendah.

Jadi sewaktu zaman penjajahan Belanda, masyarakat Minang menganggap orang Belanda sebagai ular yang besar dan sumber berbagai penyakit.

Kalese-pese

Pada zaman kolonial, mungkin karena pergaulan atau pendidikan sebagian kecil dari orang Minang bisa berbahasa Belanda, namun bagi sebagian besar masyarakat awam di Ranah Minang  bahasa tersebut kedengarannya tidak lebih dari bunyi “ese-pese” saja, karena  bahasa Belanda banyak memakai huruf “e”, lagi pula adjektiva bahasa Belanda banyak memakai imbuhan/berakhiran “e dan se”, seperti dalam kalimat beriku ini: De winnaar was een buitengewone Surinaamse meisje van Javaanse afkomst. (Pemenangnya adalah seorang gadis yang luar biasa dari keturunan Jawa Suriname.). Bagi orang awam kalimat bahasa Belanda tersebut tidak lebih dari bunyi “kalese pese” saja.

Jadi seseorang yang sudah mahir berbahasa Belanda dikatakan oleh orang Minang djadoel: “Eeh, inyo alah bisa mangecek kalese-pese pulo. (Eeh, dia sudah bisa ngomong bahasa Belanda pula).

Demikianlah sekelumit mengenai stigma Belanda di Ranah Minang.

Tangsel, 5 Agustus 2015.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun