Di sebuah teluk kecil yang tersembunyi dari peta dunia, hiduplah sekumpulan ikan teri yang berenang seperti bintang-bintang kecil di samudra malam. Mereka tak pernah sendiri. Selalu bersama. Selalu satu gerak. Satu arah.
Di antara mereka, ada seekor ikan teri mungil bernama Lila. Ia berbeda. Suka bertanya. Suka bertualang jauh dari kawanan. Dan diam-diam, ia memimpikan sesuatu yang tak pernah disebutkan: hidup sendiri.
"Aku ingin tahu rasanya menjadi bebas," kata Lila pada arus laut suatu hari. "Tidak mengikuti siapa-siapa. Tidak menunggu siapa-siapa."
Arus laut hanya tertawa pelan. "Bebas itu indah, Lila. Tapi ingat, bahkan angin pun butuh laut untuk berlari."
Lila tidak peduli. Ia mulai menjauh dari rombongan. Menyelinap ke sudut-sudut karang yang sepi, menyusuri laguna-laguna asing. Dan untuk pertama kalinya, ia merasakan dunia tanpa suara kawanan.
Tapi dunia itu dingin.
Tidak ada gurauan renik dari teman-teman kecilnya. Tidak ada kehangatan sirip yang menyentuh secara tak sengaja. Tidak ada yang memperingatkannya saat bayangan besar mengendap dari atas.
Lila hampir dimakan seekor burung camar sebelum akhirnya menyelam ke dasar. Sendirian. Gemetar.
Hari itu, ia menyadari sesuatu: kesendirian adalah kebebasan yang dingin dan sunyi.
Lalu ia pulang. Tidak dengan sirip cepat atau hati sombong, tapi dengan keletihan dan kerinduan yang dalam. Dan ketika rombongan melihatnya dari kejauhan, mereka menyambutnya seperti ombak menyambut pasir yang pulang dari badai.
Tak ada marah. Tak ada tanya. Hanya pelukan air yang hangat dan tenang.