Mohon tunggu...
Saifullah S (Pilo Poly)
Saifullah S (Pilo Poly) Mohon Tunggu... Pengelola @Puisi_Kompas dan puisikompas.wordpress.com -

Pengelola @Puisi_Kompas | Magang di @tempodotco | Mengabdi di PepNews.com | He who has a why believe for can bear whith almost any how: Nietzsche

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sepatu dari Masa Lalu

25 November 2017   14:19 Diperbarui: 26 November 2017   18:12 3155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KPM Gurita. (Foto: aceh.tribunnews.com)

Sore itu langit nampak mendung. Lalu satu menit kemudian hujan jatuh kecil-kecil dan angin membawa bau tanah dari bekas kubangan kerbau. Aku sedang duduk di depan pintu. Kambing-kambing yang sedang digembalakan meronta-ronta dibawah hujan seperti minta berteduh. Tapi bukan hal tersebut pula yang kemudian mengganggu jalan pikiranku. Sebenarnya ini masalah yang terlalu sederhana menurutmu.

Sebulan lalu, aku meminta orangtuaku untuk membelikan sepatu baru. Sepatuku yang lama telah hancur dan terdapat beberapa lubang pada sepatu itu persis seperti digigit tikus. Talinya yang putih, tersisa setengah saja dan terlihat buluk. Sebenarnya, aku bisa saja bertahan beberapa bulan lagi dengan sepatu itu sambil menunggu ayah pulang yang badannya bau keringat kapal bercampur aroma laut. Tapi kali ini aku menjadi orang yang paling tak punya kesabaran. Ini dipicu karena di sekolah aku makin sering diejek oleh teman-teman. Mereka sering membuatku malu dan marah.

Maka dari itu, aku benar-benar butuh sepatu baru. Setidaknya, dengan memiliki sepatu itu, kemungkinan besar untuk tidak dihina di sekolah akan berkurang. Dan hal ini segera kusampaikan lagi pada ibuku. Minggu ini, sudah dua kali permintaan sepatu kulontarkan pada ibu. Dan seperti biasa, ibu akan tersenyum dan menyuruhku untuk menunggu ayah pulang.

"Ibu. Kapan ayah pulang?"
"Mungkin beberapa hari lagi."
"Ayolah, Bu. Ini untuk kesekian kali ibu ngomong seperti itu."
"Tunggu saja. Ia pasti pulang, dan kau dibelikan sepatu."

Mendengar suara ibu yang menyakinkan itu, aku langsung berkhayal tentang sepatu baru. Baunya. Aromanya. Semua khayalan itu benar-benar membuatku lupa kalau ayah belum tentu pulang beberapa hari lagi. Kata ibu, ayah bekerja di sebuah perusahaan kapal dan akan pulang dalam beberapa bulan sekali. Kadang bisa berbulan-bulan lamanya.

Aku kembali mengingat-ingat kapan terakhir ayah pulang. Mungkin kalau tidak salah dua bulan yang lalu. Berarti sisa satu bulan lagi aku harus menunggu. Walau begitu, aku tetap berkhayal bahwa saat ayah kembali, pasti ayah akan membelikan sepatu. Malam itu, setelah pembicaraan dengan ibu, aku tatap lekat-lekat mata ibuku yang luhur itu. Ia tak mungkin akan berbohong padaku kalau ayah akan pulang beberapa hari lagi.

Kadang bukan sepatu ini juga yang membuatku akhirnya menunggu kepulangan ayah. Tapi aroma tubuhnya yang lelah bekerja. Suaranya yang lembut bagai awan. Matanya begitu teguh dan jernih. Juga hidungnya yang runcing saat menyentuh pipiku sambil mencium dengan kerinduannya.

Biasanya kami akan menunggu kepulangan ayah di pelabuhan. Ini juga hal yang paling kutunggu. Aku suka saat melihat kapal yang bersandar di sisi dermaga. Momen ini sering kali membuatku seperti melihat ribuan balon yang dilepaskan ke udara. Entah dari mana pikiran itu muncul. Pikiran itu seolah datang begitu saja. Bagai titik-titik cahaya di air laut yang bergoyang ke segala arah digulung riak kecil di tepi pantai.

Saat kapal telah benar-benar bersandar, dari geladaknya pula kepala ayah menyembul dengan senyumnya. Ibu melambaikan tangannya dan ayah menerima lambaian ibu dengan cara mengharukan. Kemudian, aku menangkap mata ayah yang membawa rindu dari berbulan-bulan di tengah laut padaku. Debar hatinya yang kuat dari atas geladak kapal begitu dapat kurasakan.

Ayah belum juga pulang. Ini hari kelima setelah aku terakhir kalinya mendengar ibu bicara kalau ayah akan sampai tak lama lagi. Ah, ayah. Aku merasa begitu letih mendengar banyak ejekan yang dilontarkan teman-temanku. Kau kapan kembali, ayah? Hari ini aku bahkan tidak mempergunakan jam istirahatku seperti biasa. Aku diam-diam menyembunyikan diriku dalam perpustakaan dan menelan buku-buku apa saja saat jam istirahat tadi karena malu lantaran diejek terus.

Keluar dari perpustakaan yang penuh aroma buku itu aku diliputi pikiran macam-macam. Apakah ayah tenggelam di laut? Mengapa tidak ada kabar yang sampai kepadaku atau ibu? Ah. Bagaimana caranya mengirimkan pesan kepada ayah agar ia bisa mendengar suara hatiku ini? Apa dengan surat? Tapi aku tak pernah tahu alamat ayah saat ada di laut. Kata ibu, laut begitu luas. Semakin airnya biru dan kelihatan hitam, maka semakin dalam air itu. Ayah suka menyeberangi laut-laut yang biru dan hitam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun