Mohon tunggu...
Cely Julianti
Cely Julianti Mohon Tunggu... Goverment PR | Sosial Media Analisis

Simple and Freedom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Minimnya Literasi Anak Muda Indonesia di Era Digital : Tantangan Serius yang Perlu Diatasi

8 Maret 2025   14:24 Diperbarui: 8 Maret 2025   14:24 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi freepik.com

Di era digital yang serba cepat, akses informasi semakin mudah. Namun, ironi terjadi di Indonesia: literasi anak muda masih tergolong rendah. Hal ini menjadi tantangan besar bagi masa depan bangsa, terutama dalam membangun generasi yang kritis, cerdas, dan mampu bersaing di tingkat global.  

Salah satu penyebab utama rendahnya literasi adalah kurangnya minat membaca. Anak muda lebih banyak menghabiskan waktu untuk berselancar di media sosial, menonton video pendek, atau bermain game dibandingkan membaca buku atau artikel berkualitas. Budaya membaca perlahan terkikis oleh tren konsumsi konten instan yang lebih menghibur tetapi minim edukasi.  

Kondisi ini diperparah dengan kebiasaan membaca yang cenderung dangkal. Banyak anak muda hanya membaca judul berita tanpa memahami isi sepenuhnya. Akibatnya, mereka mudah terpengaruh oleh informasi yang menyesatkan atau hoaks.  

Media sosial menjadi pedang bermata dua bagi literasi anak muda. Di satu sisi, platform ini menyediakan akses cepat terhadap informasi, tetapi di sisi lain, banyak informasi yang bersifat dangkal dan tidak akurat. Algoritma media sosial juga cenderung menampilkan konten berdasarkan minat pengguna, sehingga mempersempit wawasan mereka hanya pada topik tertentu.  

Selain itu, munculnya tren scrolling tanpa batas membuat anak muda sulit untuk fokus membaca teks panjang. Kebiasaan ini berdampak pada menurunnya kemampuan pemahaman mendalam terhadap suatu informasi.  

Rendahnya literasi juga berpengaruh pada kurangnya kemampuan berpikir kritis. Anak muda cenderung menerima informasi begitu saja tanpa melakukan verifikasi atau analisis lebih lanjut. Hal ini membuat mereka rentan terhadap penyebaran hoaks, misinformasi, dan propaganda yang dapat merugikan diri sendiri maupun masyarakat.  

Minimnya budaya diskusi yang sehat juga menjadi masalah. Banyak perdebatan yang terjadi di media sosial justru berujung pada adu argumen tanpa dasar yang kuat. Padahal, diskusi yang berbobot dapat membantu meningkatkan kemampuan berpikir analitis dan literasi yang lebih baik.  

Pendidikan memiliki peran krusial dalam meningkatkan literasi anak muda. Sayangnya, metode pembelajaran di sekolah masih banyak yang berbasis hafalan dibandingkan pemahaman konsep. Hal ini membuat siswa tidak terbiasa untuk membaca secara mendalam dan berpikir secara analitis.  

Di sisi lain, dukungan dari keluarga juga sangat penting. Orang tua yang membiasakan anak-anak mereka untuk membaca sejak dini akan membantu menanamkan kebiasaan positif ini hingga dewasa. Namun, jika lingkungan keluarga tidak mendukung, maka minat membaca anak akan semakin berkurang.  

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah konkret dari berbagai pihak. Sekolah perlu mengadopsi metode pembelajaran yang lebih interaktif dan berbasis pemahaman. Kurikulum juga harus mendorong siswa untuk membaca lebih banyak dan mendiskusikan isi bacaan mereka secara kritis.  

Di sisi lain, pemerintah dan komunitas literasi dapat berperan aktif dalam menyelenggarakan kampanye membaca yang menarik bagi anak muda. Membuat konten edukatif yang lebih menarik di media sosial juga bisa menjadi strategi efektif untuk meningkatkan minat baca generasi muda.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun