Mohon tunggu...
Mitclelle CelsiaSaragih
Mitclelle CelsiaSaragih Mohon Tunggu... Lainnya - gapaham :

Mahasiswi aktif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku dan Sebuah Cerita

2 Oktober 2020   07:00 Diperbarui: 2 Oktober 2020   07:28 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

oleh : Mitclelle Celsia Saragih salah satu mahasiswi aktif di AKMRTV Jakarta. 

Sore itu aku duduk di samping Danau Toba, danau indah yang penuh dengan misterinya. Aku tak punya teman, bahkan di kelasku sekalipun. aku punya dua adik. Satu kelas 3 SD dan satu lagi masih berumur 4 tahun. Ayahku adalah keturunan Jepang. Ia meninggalkan ku beserta keluargaku ketika aku baru saja resmi menjadi salah satu murid di SMA. Entah apa alasannya meninggalkan kami. Tapi satu yang pasti. Aku tau dia tak akan pernah kembali.

Lalu ibuku? Dialah satu-satunya manusia yang membawaku masuk ke alam surga. Anehnya, dia memiliki sayap kecil yang selalui ia sembunyikan dibalik Ulos Batak pemberian ayahnya dulu. Itulah sebabnya aku tidak memiliki teman. Ya benar.. Ibuku aneh. Tapi aku mencintainya. Dia wanitaku, ibuku, teman ku bermain peran di panggung duniawi ini. 

Hai! Aku Dekiro, yang suka mendengar bunyi hempasan ombak danau dekat rumahku. Setiap hari aku membonceng adikku, Sirashi ke sekolahnya menggunakan sepeda Ontel peninggalan kakekku dulu. Aku tak ingin dia diantar oleh ibuku. Biar aku saja yang tidak memiliki teman. Dia harus bahagia dengan temn-temannya. Dan hari ini, untuk pertama kalinya aku tidak membonceng adikku ke sekolahnya. Aku sudah muak dengan kondisi kampung yang begini-begini saja. Kini kuputuskan! Aku akan pergi ke luar kota. Merantau. Membantu ibuku menafkahi adik-adikku.  Biarlah aku berlayar di atas kapal penjala, berlayar entah kemana.

Hari berganti hari, tahun berganti  tahun,  begitulah seterusnya. Kini aku telah menemukan pekerjaaan disini. Entah dimana. Biaralah sunyi yang bicara. Wah.. Lama sudah tak kutemui ibuku. Entah bagaimana pula kabar adik jantanku Sirashi. Bisakah dia menghidupi Orewa gadis manisku dan ibu? Untuk mengetahuinya, maka pulang adalah jawabannya. Sering sudah kukirimi surat, sayangnya hanya berbalas angin. 

Suatu hari aku duduk di kost ku. Merenung akan nasibku yang malang. Aku tak lagi bekerja karena ada PHK besar-besaran di pabrik tempatku bekerja. Uang sisa enam ratus ribu, menurutku ini masih cukup untuk pulang. Kunyalakan TV tanpa memperdulikan siarannya. Aku asik menari dengan renungan-renungan dan khayalanku. Namun ada yang janggal dan mengganggu. Kudengar suara laporan di Televisi. Terdengar seperti menyebut kampung halamanku Samosir. Apa ini? Firasatku buruk dan aku gelisah tak tentu. Kususun bajuku dan kulangkahkan menuju kampung halamanku. 

Aku pergi ke pelabuhan dan aku berlayar menuju Sanosir. Setibanya disana, mataku mengembara menelusuri rumah-rumah. Kulihat, banyak yang berubah. Dimana rumahku? Dimana Orewa dan Sirashi? Sungguh terkejutnya aku. Entah pandangan apa yang dihantarkan warga kepadaku. Tatatpan mereka seolah-olah berkata aku ini orang paling malang di dunia.

"Setapak,.. dua tapak,.. aku mulai melihat rumahku, wah sekolah lamaku, dan..."  pikirku tersentak karena seorang gadis berlari menangis ke arahku. Hey! Ke arahku bukan? Aku diam dan ku tatapi langkah kaki Gadis itu. Bagaimana bisa dia memiliki kulit semulus dan seputih itu di tempat seperti ini. 

"Bang Iro! Bang Iro! Dang ison be omak bang. Nga lao be imana!" katanya sambil berlari  yang artinya bang Iro! Ibu sudah tak  disini lagi! Dia  telah pergi. Lihat dia! Lihat dia ! Dia adikku Orewa. Ternyata sudah besar. Aku bahagia. Tapi kabar apa itu? Aku benci mendengarnya.  Aku rindu. Rindu pada malaikatku. Rindu pada sayapnya. Rindu jua pada senyumnya.

Aku berlari. Kukejar Orewa, ia bimbing pula aku ke rumah. Tak banyak orang. Hanya sekitar empat sampai lima orang.  Mungkin karena mereka menganggap ibuku aneh. Sehari kami berduka. Aku tak menangis. Aku merasa ini adalah jalan yang tepat untuk mengakhiri penderitaannya. Kemudian kami kubur dia . Biarlah! toh sudah takdirnya begitu. Lihatlah logatku, seolah-olah tegar padahal sekeras-kerasnya batu akan hancur juga bila ditetesi air secara teratur.

Tanpa sadar Sirashi sudah lebih tinggi dariku. Aku memeluknya, dan kubilang " ho do tukkot di jabutta amang, uli hian do hubereng pargodangni adekmu si borua" yang artinya kau adalah punggung keluarga, aku melihat pertumbuhan adik kita sangat cantik. Lalu sahutnya kemudian " olo bang. Dang husangka tamat do hami sikkola, nang pe holan SMA" Yang artinya iya bang. Aku pun tidak menyangka kami tamat sekolah, meskipun hanya SMA.  Perbincangan kami begitu hangat. Seminggu aku menetap di kampung itu. Namun pada akhirnya Sirashi menceritakan penyebab kematian ibu adalah pulangnya ayah ke rumah hanya untu berpamitan karena sudah memiliki isteri baru. Bak planet Saturnus pecah! Dan belingannya terhambur kr paru-paru bumi. Ayah tak tau diri!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun